Rupiah Melemah, Eksportir Dinilai Belum Bisa Sabet Peluang

Deddy S | CNN Indonesia
Senin, 16 Mar 2015 12:11 WIB
Depresiasi rupiah seharusnya jadi peluang bagi eksportir untuk meningkatkan penjualan. Tapi sektor manufaktur dianggap masih belum 'bergigi'.
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi WIcaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Depresiasi rupiah yang terjadi belakangan ini seharusnya jadi peluang bagi eksportir untuk meningkatkan penjualan. Tapi sektor manufaktur dianggap masih belum 'bergigi'.

Pengamat ekonomi dari Indosterling Capital, William Henley, mengatakan Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas sehingga depresiasi rupiah tak juga berdampak positif terhadap neraca perdagangan.

"Kalau manufakturnya menggeliat, mestinya nilai tambah terhadap ekspor bisa lebih besar," katanya di Jakarta, Senin (16/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini menjadi yang terburuk sejak Agustus 1998. Bahkan di Asia, pelemahan rupiah relatif lebih lebih dalam ketimbang negara-negara lainnya.

Seperti dilansir Reuters pada Senin (16/3), dolar Amerika Serikat diperdagangkan di posisi Rp 13.235, menguat dari posisi pembukaan pasar yaitu Rp 13.220.

Mata uang rupiah juga tak berdaya dibandingkan dengan ringgit Malaysia dan dolar Singapura. Ringgit berada di posisi Rp 3.575, menguat dari Rp 3.561. Sedangkan dolar Singapura berada di posisi Rp 9.511, menguat dari Rp 9.475.

Rupiah juga melemah terhadap mata uang baht Thailand, won Korea Selatan, dan yen Jepang.

Henley menyebutkan, Bank Indonesia seakan membiarkan pelemahan nilai tukar ini guna memperbaiki kinerja ekspor. "Namun sayangnya masih banyak kendala bagi eksportir untuk memanfaatkan pelemahan rupiah ini," katanya.

Menurut William, industri manufaktur seperti garmen misalnya, masih harus membeli bahan baku dalam mata uang dolar. Sehingga meskipun penjualannya dalam dolar, namun karena pembelian bahan bakunya juga dalam dolar maka pelemahan nilai tukar ini cukup mengkhawatirkan.

Selain garmen, industri pengolahan berbasis sumber daya alam juga belum maksimal. Kebutuhan investasi untuk membangun smelter, misalnya, sangat besar.

Sedangkan pendanaan dari bank ataupun pasar modal belum cukup menarik bagi sektor tersebut. Padahal, jika industri pengolahan semacam ini bisa dioptimalkan, maka nilai jual produk sumber daya alam Indonesia akan semakin tinggi.

“Masalah infrastruktur juga masih kendala akan lambannya pertumbuhan manufaktur di Indonesia,” ujar dia.

Tak hanya itu, industri manufaktur juga harus didera masalah upah buruh yang kerap menuntut kenaikan cukup besar tiap tahunnya. Sedangkan produktivitas buruh tidak sejalan dengan tantangan yang dihadapi secara global.

Jika industri manufaktur lebih diperhatikan, diharapkan impor bisa berkurang sebab kebutuhan dalam negeri sedikitnya bisa dipenuhi sendiri.

“Sudah saatnya kita mengambil peluang terhadap perbaikan ekonomi di Amerika Serikat, bukan hanya menyesalkan pelemahan nilai tukar rupiah karena dolar AS yang kian menguat,” kata Henley.

Pemerintah sendiri sedang mematangkan paket kebijakan stabilisasi rupiah. Menteri Keuangan Bambang P. S. Brodjonegoro mengatakan dampak kebijakan itu akan langsung terasa pada penguatan rupiah. (Baca: Menkeu Optimistis Kebijakannya Langsung Stabilkan Rupiah)

Saat ini sejumlah menteri ekonomi Kabinet Kerja sedang melakukan rapat koordinasi. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER