Jakarta, CNN Indonesia -- PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) berharap Mahkamah Agung (MA) segera mengabulkan peninjauan kembali atas sengketa dengan PT Arga Citra Kharisma (ACK) terkait kepemilikan tanah di Gang Buntu, Medan, Sumatera Utara. PT KAI menuding ACK telah menyalahgunakan lahan milik perseroan seluas 7,3 hektare di sana.
"Kami minta MA untuk segera mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang kami ajukan sejak 2012 terkait penyalahgunaan lahan ini. Karena ini adalah aset negara yang sudah disalahgunakan dan aset negara tersebut perlu untuk diselamatkan," ujar Direktur Aset Non Railways PT KAI Ahmad Najib di Jakarta (8/4).
Kendati masih menunggu putusan MK, namun Ahmad yakin jika nantinya kepemilikan lahan tersebut akan tetap jatuh ke tangan PT KAI mengingat sejak awal lahan tersebut adalah lahan PT KAI dan ACK sudah terbukti melakukan pelanggaran dengan memberikan izin pembangunan ruko, mal, dan apartemen yang tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di atas lahan sengketa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka dari itu, jika MA menyatakan bahwa lahan tersebut adalah milik kami, maka bisa saja kami merubuhkan bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya tanpa kompensasi karena sejak awal kami tak pernah izinkan mereka mendirikan bangunan di lahan Gang Buntu. Apalagi mal, ruko, dan apartemen tersebut juga tidak punya IMB," tambahnya.
Ahmad juga mengatakan bahwa PT KAI belum tahu apakah bangunan-bangunan yang terdapat di lahan itu akan diratakan jika nantinya PK dikabulkan mengingat belum ada pembicaraan lebih jauh di tingkat direksi. Namun, PT KAI memang rencananya akan menggunakan lahan tersebut untuk pengembangan stasiun yang menurutnya sudah ada ground plan-nya sebelum 1945.
"Yang pasti semuanya kita tentukan setelah PK ini keluar dan kami yakin bahwa nantinya PT KAI yang ditetapkan sebagai pemilik sah terhadap lahan yang kami taksir senilai Rp 1,3 triliun tersebut," tambahnya.
Sengketa antara PT KAI dengan ACK bermula ketika badan usaha milik negara (BUMN) yang dahulu bernama Djawatan Kereta Api menggandeng pihak swasta PT Inanta untuk menggarap proyek perumahan di atas lahan Djawatan pada 1981.
Inanta meminta Djawatan untuk melepaskan hak atas tanah terlebih dahulu, namun ditolak karena pemerintah hanya mengizinkan pelepasan hak tanah kepada Pemerintah Kota Medan, yang berujung pada pengajuan Hak Pengelolaan (HPL) oleh Pemerintah Kota Medan pada 1982.
Namun sepanjang 1982 hingga 1994, terjadi perubahan perjanjian yang mana salah satunya adalah pengalihan hak dan kewajiban Inanta kepada PT Bonauli dan perubahan lokasi pembangunan perumahan tersebut. Namun hingga akhir 1994, Bonauli tidak melanjutkan pembangunan seperti disebutkan dalam perjanjian.
PT KAI semakin berang setelah mengetahui bahwa Bonauli dapat memperoleh Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah HPL meskipun pada perjanjian disebutkan bahwa Bonauli tidak dapat memperoleh HGB apabila proyek perumahan tidak dimulai. Hingga 2002, Bonauli mengalihkan hak dan kewajibannya ke ACK tanpa sepengetahuan PT KAI sedangkan proyek perumahan pun tidak kunjung dimulai.
"Aset negara memang sudah seharusnya perlu diselamatkan sehingga kami mohon MA juga segera memberi kepastian terhadap hal ini," tegas Ahmad.