LIPUTAN KHUSUS

BUMN, Cicilan Pinjaman IMF dan Instruksi Soeharto

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Kamis, 21 Mei 2015 14:43 WIB
"Kalau ada yang menolak, saya bilang kita sama-sama ke Presiden. Kalau bukan Soeharto mana mungkin terjadi," ujar Tanri Abeng, Menteri BUMN pertama.
Menteri BUMN pertama Tanri Abeng menuturkan peranan Presiden Soeharto dalam pembentukan Kementerian BUMN. (Dok. Detik)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbentuk 16 Maret 1998 saat Presiden Soeharto mengumumkan Tanri Abeng sebagai Menteri pertama yang mengurus perusahaan-perusahaan pelat merah di Indonesia.

Sebagai anggota dari Kabinet Pembangunan VII, Tanri diberi kepercayaan lebih oleh Soeharto untuk mengambil alih pengelolaan 158 BUMN yang secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Departemen Keuangan namun turut dibina oleh 17 Departemen terkait lainnya.

Kepada CNN Indonesia, Tanri menceritakan betapa besarnya kontribusi Soeharto dalam pembentukan Kementerian BUMN sehingga bisa eksis sampai saat ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria yang sekarang menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) itu menuturkan sejarah terbentuknya Kementerian BUMN bermula pada 15 Januari 1998. Ketika itu Soeharto meneken Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) bernilai utang sebesar US$ 43 miliar akibat sudah minusnya uang yang dimiliki negara akibat krisis ekonomi.

“Setelah Pak Harto meneken LoI tersebut, beliau berbicara di televisi tidak ada masalah untuk membayar utang itu. Karena menurutnya Indonesia memiliki banyak BUMN. Kira-kira seminggu kemudian saya dipanggil oleh Pak Harto,” ujar Tanri yang ketika itu menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) di salah satu grup Bakrie, Rabu (20/5).

Dalam pertemuan empat mata tersebut, suami dari Fatimah Siti Hartinah atau Ibu Tien itu bertanya kepadanya bagaimana cara meningkatkan nilai dari 158 perusahaan negara yang ada. Peningkatan nilai BUMN itu menurut Soeharto akan berguna sehingga pemerintah bisa menjual sebagian kepemilikannya untuk membayar utang kepada IMF.

Tanri kemudian mengusulkan kepada Soeharto agar seluruh BUMN yang ada, tidak lagi berada di bawah binaan Departemen teknis. Karena selama masih dikelola oleh birokrasi, maka jangan harap BUMN bisa bebas melakukan aksi korporasi.

“Saya usul dibuat national holding company. Pemikiran saya itu ada 10 BUMN holding, seperti keuangan, infrastruktur, perkebunan, industri, pariwisata dan lain-lainnya. Pak Harto setuju,” kata Tanri.

Kekuatan Politik

Sebagai bentuk persetujuannya, pada 16 Maret 1998 Soeharto kemudian menyebut nama Tanri sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN yang pertama dalam Kabinet Pembangunan VII. Mendapati dirinya didaulat menjadi Menteri BUMN tanpa kantor dan staf, Tanri sontak kaget.

“Bukan itu saja, karena ketika mengusulkan soal national holding company saya berpikir akan dipercaya menjabat sebagai Presiden Direktur tertinggi dari seluruh holding dengan Pak Harto sebagai Presiden Komisaris. Kok ini malah jadi Menteri,” tanya Tanri kepada Soeharto beberapa saat setelah pengumuman.

Menirukan jawaban Soeharto, Tanri mengatakan bahwa keputusan Presiden Indonesia ke-2 untuk menjadikannya menteri bertujuan untuk memperkuat kedudukan politiknya diantara sesama kolega menteri yang lain.

“Bayangkan kalau Anda seorang Presiden Direktur dari sebuah holding raksasa dengan kewenangan komersil yang tinggi tetapi Anda tidak punya posisi politik yang sama dengan 17 menteri lainnya yang masih menjadi pembina BUMN-BUMN itu. Anda undang rapat menteri, yang dikirim eselon III,” kata Soeharto kepada Tanri kala itu.

Keputusan untuk mendirikan satu Kementerian khusus yang mengambil alih pengelolaan BUMN dari struktur Departemen Keuangan dan binaan Departemen lainnya terbukti tepat. Dalam waktu satu minggu setelah dilantik sebagai Menteri BUMN, Tanri mengaku bisa mengambil alih seluruh BUMN yang ada menjadi dibawah kelolaannya.

“Ketika menandatangani pengalihan BUMN itu, saya berdiri seorang diri dihadapan 17 menteri pembina lainnya. Kalau ada yang menolak, saya bilang kita sama-sama ke Presiden. Itulah kekuatan dari Pak Harto, kalau bukan Soeharto mana mungkin bisa terjadi. Tidak ada yang berani menentang,” ujar Tanri sambil tertawa. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER