Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mewajibkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengalokasikan 50 persen penerimaan pajak rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan dan pemegakan hukum.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 102/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok, yang terbit pada 25 Mei 2015. Beleid tersebut merupakan revisi atas PMK Nomor 115/PMK.07 /2013.
"Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat oleh Provinsi/Kabupaten/Kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan Menteri Kesehatan," ujar Bambang seperti dikutip dari salinan PMK yang diterima CNN Indonesia, Rabu (3/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menkeu menjelaskan penggunaan pajak rokok untuk mendanai penegakan hukum oleh aparat yang berwenang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila terdapat sisa pengunaan pajak rokok, Bambang menegaskan selisih lebih tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan yang sama, yakni kesehatan dan penegakan hukum, pada tahun anggaran berikutnya.
Dalam beleid baru tersebut juga disebutkan, Menkeu menghapus klausul mengenai pengembalian pajak rokok dan menggantinya menjadi ketentuan penyetoran pajak rokok. Pada PMK sebelumnya, istilah SKP-PR merupakan kepanjangan dari Surat Ketetapan Pengembalian Pajak Rokok. Namun pada revisi beleid ini, akronim ini diganti kepanjangannya menjadi Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokok.
Tarif pajak rokok belum berubah, tetap 10 persen, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pemungutan pajak rokok dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
(ags/gen)