Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo menilai ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor membuat produktifitas ekonomi nasional rendah. Untuk itu, dia memaksa kementerian/lembaga dan BUMN untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam kegiatan operasional dan proyek-proyeknya.
"Inilah yang menjadi konsen kita bersama untuk segera mengubah, baik di kementerian atau lembaga dan BUMN, agar pemakaian produk kandungan lokal betul-betul dipaksakan," ujar Jokowi di Istana Presiden, Selasa (9/6).
Menurut Jokowi, masih banyak kegiatan produksi dan proyek-proyek di Indonesia yang masih menggunakan bahan baku impor meskipun sebenarnya pasokan dalam negeri memenuhi. Hal ini membuat kapasitas industri dan pabrik rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kapasitas yang seharusnya bisa berproduksi 90 persen atau bahkan 100 persen, hanya berproduksi 40 persen hingga 60 persen," tutur Jokowi.
Karenanya, Presiden menilai perlu penyesuaian pola belanja dan regulasi yang sitemasis untuk bisa melaksanakan kewajiban penggunaan produk-produk Indonesia. Dengan kebijakan yang dipaksakan tersebut, Jokowi berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin berkualitas karena didukung oleh industri yang produktif.
"Jangan sampai (pertumbuhan ekonomi) berbasis konsumsi karena apapun nilai tambah itu ada di sisi produksi dan pengembangan industri dalam negeri," jelasnya.
Ekonomi HijauPada kesempatan berbeda, Direktur Pelaksana Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurutnya, pemerintah harus mulai mempertimbangkan konsep pembangunan ramah lingkungan (green economy) dan berkelanjutan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam paparannya di gelaran konferensi Indonesia Green Infrastructure Summit 2015, Mantan Menteri Keuangan itu mengingatkan bahwa pembangunan yang bersifat jangka pendek justru akan memangkas pertumbuhan ekonomi.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan pertumbuhan saja, kecuali jika pertumbuhannya bersifat inklusif dan ramah lingkungan secara berkelanjutan. Sukses tergantung pada bagaimana sebuah negara tumbuh, bukan hanya berapa besar,” kata Sri Mulyani, Selasa (9/6).
Menurutnya, banyak negara yang mengkhawatirkan kemampuan anggarannya untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi ramah lingkungan (green growth). Pasalnya, untuk mewujudkan itu dibutuhkan investasi yang sangat mahal.
"Tetapi ini kurang beralasan karena pembangunan berkelanjutan ada tantangan-tantangannya, termasuk dari segi biaya. Oleh karena itu diperlukan inovasi dengan campur tangan pihak swasta dan pemerintah," tuturnya.
Sri Mulyani menambahkan nilai investasi hijau di dunia telah meningkat hingga mencapai US$ 200 miliar sampai saat ini. Hampir 90 persen dari bisnis ramah lingkungan ini telah terbukti berhasil meningkatkan pendapatan di sejumlah negara, seperti China, Vietnam dan Kamboja.
(ags/gen)