Pengusaha Sawit: Harga CPO Melemah Karena Rupiah Loyo

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 24 Jun 2015 01:46 WIB
“Ini tentu lebih banyak diakibatkan oleh pelemahan rupiah terhadap dolar AS," ujar Direktur Utama PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. Rimbun Situmorang
Kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk di Kalimantan. (Dok. Sawit Sumbermas Sarana)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengusaha industri kelapa sawit menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu faktor merosotnya harga komoditas kelapa sawit, selain rendahnya permintaan.

Direktur Utama PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS) Rimbun Situmorang menyebutkan harga minyak sawit mentah (CPO) akhir-akhir masih tertekan dengan harga rata-rata di bulan Mei berkisar Rp 7.100–Rp 7.300 (per kg) atau setara sekitar US$ 560 per ton.

“Ini tentu lebih banyak diakibatkan oleh pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Di samping itu juga diakibatkan oleh demand yang terjadi pada saat ini memang tidak terlalu menggembirakan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rendahnya harga dan permintaan CPO, lanjut Rimbun, merupakan kondisi global tidak hanya di Tanah Air. Oleh karenanya, dia sangat berharap dengan adanya kebijakan pemerintah dapat benar-benar mendongkrak permintaan CPO di dalam negeri sehingga pengusaha tidak bergantung pada permintaan ekspor.

“Harapan kita dengan adanya kebijakan pemerintah yang baru ini tentunya bisa untuk meningkatkan untuk permintaan terutama dalam negeri,” katanya.

Untuk diketahui, Sawit Sumbermas sendiri tahun ini menargetkan dapat memproduksi sekitar 330 ribu mt CPO. Lebih lanjut, seluruh permintaannya diklaim Rimbun berasal dari dalam negeri.

Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan rupiah tidak selayaknya berada di level lemah pada saat ini. Pasalnya dari beberapa data ekonomi yang terkini, kondisi Indonesia tidak seburuk yang dinilai dan pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh spekulan serta krisis kepercayaan.

Faisal menilai pemilik dolar AS khawatir merugi, karena jika nanti mereka membutuhkan mata uang negeri Paman Sam itu, maka harus membeli dengan kurs yang lebih tinggi lagi. Ia menilai, masyarakat maupun pebisnis tak berhasil diyakinkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

“Ada semacam krisis kepercayaan dan tergerusnya trust terhadap pemerintah dan BI. Hal itu mengakibatkan pasokan dolar AS di pasar valuta asing tidak meningkat. Apalagi mengingat volume transaksi di pasar valuta asing sangat tipis, sekitar US$ 2 miliar saja dalam sehari,” jelasnya. (gir/gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER