Jakarta, CNN Indonesia -- Konsultan properti Colliers Internasional menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat membuat risiko bisnis properti, terutama untuk gedung perkantoran meningkat. Kondisinya dinilai semakin buruk dengan diwajibkannya penggunaan rupiah untuk semua transaksi karena membuat sektor properti tak lagi menarik di mata investor.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP pada 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam aturan tersebut dinyatakan transaksi dan pembayaran yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah wajib menggunakan rupiah.
Ferry Salanto, Associate Director Research Colliers International Indonesia menuturkan bisnis perkantoran paling terpukul oleh kewajiban penggunaan rupiah karena beban pinjaman perusahaan biasanya berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS). Pinjaman valas ini lebih dipilih karena tingkat suku bunganya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman rupiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dengan adanya kebijakan ini, mereka tidak bisa lagi menarik
income dalam dolar, sementara dia pinjam untuk investasi dalam bentuk dolar meskipun dengan bunga rendah, tetapi ada risiko
currency yang naik turun. Nah itu bisa lebih
risky buat developer sehingga dengan hitung-hitungan yang ada itu jadi tidak
make sense lagi untuk bangun gedung baru,” kata Ferry di Jakarta, Rabu (8/7).
Colliers memprediksi suplai perkantoran akan meningkat 42,8 persen dalam tiga tahun ke depan menyusul rampungnya beberapa proyek perkantoran di kawasan pusat bisnis (
central business district/ CBD). Apabila diperkirakan pada akhir tahun suplai perkantoran di kawasan CBD Jakarta mencapai 4,9 juta meter persegi, maka pada 2018 diprediksi naik menjadi hampir 7 juta meter persegi.
Sebaliknya, tingkat okupansi perkantoran di area CBD Jakarta justru trennya menurun dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2013, tingkat okupansi areal perkantoran di area CBD mencapai 96,5 persen, sedangkan pada pertengahan tahun ini tingkat okupansinya hanya mencapai 93,7 persen.
“Dengan proyeksi suplai yang cukup banyak sedangkan minat untuk membangun (gedung baru) turun sebenarnya itu bisa menetralisir keadaan kelebihan suplai ke depannya,” ujar Ferry.