Jakarta, CNN Indonesia -- Berdasarkan pemantauan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRI), dalam sepekan terakhir transaksi pembelian produk makanan dan pakaian meningkat signifikan dibandingkan bulan-bulan biasanya.
Ketua APRI Tutum Rahanta mengatakan biasanya selama puasa atau menjelang Hari raya Idul Fitri, penjualan produk makanan di tingkat ritel meningkat sekitar 50 persen dari biasanya. Sementara untuk produk pakaian, permintaanya bisa melonjak hingga dua sampai tiga kali lipat.
"Biasanya itu menjelang lebaran penjualan produk makanan meningkat sekitar 50 persen, sedangkan untuk produk fashion bisa 200 persen hingga 300 persen," ujar Tutum Rahanta kepada CNN Indonesia, Ahad (12/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut tutum, kenaikan produk makanan tidak setinggi produk pakaian karena merupakan bahan pokok yang penyediaannya selalu diupayakan setiap hari. Berbeda dengan produk pakaian, momentum lebaran biasanya menjadi ajang untuk menggunakan pakaian yang serba baru, mulai dari baju, celana, hingga alas kaki.
"Tapi apakah pertumbuhan (ritel) lebaran tahun ini akan melampaui lebaran tahun lalu, kami belum tahu. Setidaknya ini bisa menutup penurunan penjualan di bulan-bulan sebelum dan sesudah lebaran tahun ini," jelas Tutum.
Tembus Rp 180 TriliunUntuk tahun ini, lanjut Tutum, daya beli masyarakat turun signifikan dibandingkan dengan tahun lalu seiring dengan perlambatan ekonomi makro. Hal ini membuat penjualan ritel terkoreksi dalam beberapa bulan terakhir, terutama dari sisi volume.
Kendati demikian, Tutum berharap secara nominal penjualan ritel meningkat 10 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang sekitar Rp 162 triliun. Kenaikan nominal penjualan tersebut mempertimbangkan meningkatnya biaya produksi akibat inflasi dan depresiasi rupiah.
"Kami menargetkan penjualan ritel tahun ini mencapai Rp 180 triliun, lebih tinggi 10 persen dari tahun lalu. Tapi dari sisi quantity belum tentu naik," katanya.
Menurut Tutum, pengusaha ritel mau tidak mau menaikkan harga jual produknya karena mempertimbangkan biaya pembelian dan tenaga kerja yang meningkat. Terlebih untuk produk-produk impor, harganya menjadi lebih tinggi karena nilai tukar dollar AS yang melambung.
"Kalau total ritel, itu 30 persen merupakan barang impor. Tapi untuk barang-barang branded luar negeri itu bisa 100 persen impor," tuturnya.
Dia berharap ada langkah kongkret dari pemerintah untuk menstabilkan ekonomi makro agar daya beli masyarakat kembali menignkat. Hal ini diharapkannya bisa kembali menggairahkan bisnis ritel.