Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit atau Badan Layanan Umum (BLU) CPO
Fund diminta untuk bisa membantu pemerintah mengoptimalkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) guna mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil melalui dana yang dikumpulkannya.
Kardaya Warnika, Mantan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan pemerintah harus menyusun peta jalan yang jelas mengenai kebijakan pengembangan BBN dan harus konsisten menjalankannya.
“
Roadmap menjadi sangat penting sebagai pegangan semua pihak dalam menjalankan pengembangan energi. Dalam
roadmap itu harus dijelaskan mengenai kesamaan pendangan antara Pemerintah dengan stakeholder, antara PT Pertamina (Persero) dengan BPBD Sawit. Jadi siapa melakukan apa akan sangat jelas,” tegas Kardaya di Jakarta, Senin (27/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pria yang kini menjadi Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah harus melakukan terobosan karena jika masih tergantung pada BBM fosil maka upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri secara mandiri akan sangat lama bisa terpenuhi.
Kardaya mencontohkan terobosan tersebut misalnya dengan memberikan kebijakan yang bisa menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di bidang energi baru dan terbarukan di Indonesia. Menurutnya Indonesia memiliki potensi energi alternatif yang besar jika dikembangkan dengan sangat serius oleh pemerintah dan BPBD.
“Banyak potensi bio energi yang bisa dikembangkan pemerintah selain dari sawit misalnya dari aren yang bisa menghasilkan ethanol. Indonesia mempunyai produksi yang sangat besar baik dari sawit atau dari aren,” tambah Kardaya.
Pengembangan bio energi melalui BBN disebut Kardaya merupakan yang paling realistis untuk dikembangkan di Indonesia saat ini karena pasokan bahan bakunya sangat berlimpah. Ini seharusnya menjadi keuntungan kompetitif bagi Indonesia dan akan menjadi pertanyaan besar jika keuntungan kompetitif ini justru disia-siakan dengan berbagai dalih.
Kardaya menilai sawit di Indonesia seperti halnya tebu di Brazil atau minyak di Timur Tengah. Karena itu, tidak masuk akal jika pengembangan BBN biodiesel berbasis sawit justru tertunda-tunda.
“Oleh karena itu pada tahap awal memang diperlukan sokongan kebijakan dan dana agar bisa bersaing dengan BBM fosil,” katanya.
Butuh KonsistensiUpaya untuk membangun ketahanan energi nasional, menurutnya membutuhkan kebijakan yang konsisten dari pemerintah termasuk dalam implementasinya.
“Jangan sampai kebijakan yang baru dijalankan ini ditengah-tengahnya berubah karena adanya faktor harga minyak dunia yang berubah pula,” tegas Kardaya.
Sebelumnya Direktur Utama BPDP Kelapa Sawit Bayu Krisnamurthi mengatakan, lembaga yang dipimpinnya akan memberikan subsidi sebesar Rp 600-Rp 700 per liter untuk pengembangan biodiesel nasional .
“Kami sudah menyepakati ketentuan support biodiesel. Badan ini akan memberikan support Rp 600-Rp 700 per liter, ini adalah
on top dari Rp 1.000 subsidi pemerintah terhadap solar yang sudah ditetapkan dalam APBN," kata Bayu belum lama ini.
Pertamina menurut Bayu juga telah diminta untuk menggunakan bahan bakar jenis campuran sawit ini. Dengan dikumpulkannya CPO
fund, diharapkan Pertamina bisa menerapkan kebijakan mandatori B15.
"Ada selisih harga biodiesel dengan MOPS (
Mean of Platts Singapore). Dengan adanya sistem ini menyelesaikan selisih harga tersebut, jadi tidak ada alasan bagi Pertamina untuk tidak gunakan B15," kata Bayu.
Dia menambahkan, subsidi yang diberikan melalui BPDP ini akan dialokasikan kepada produsen seperti Pertamina sehingga nantinya harga jual menjadi lebih murah.
"Subsidi Rp 1.000 akan diberikan kepada konsumen, prinsip
support-nya pada konsumen tapi mekanismenya itu Rp 1.000 diberikan pada produsen BBM-nya, itu
fix (tetap) di APBN, yang Rp 600-Rp 700 itu bergerak sesuai harga pasar, diberikan kepada produsen bahan bakunya, jadi konsumen secara tidak langsung akan diberikan subsidi Rp 1.600-1700 per liter," ujar Bayu.
(gen)