Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana penghapusan komponen
cost recovery di dalam kontrak bagi hasil pengelolaan blok minyak dan gas (migas) atau
production sharing contract (PSC) diperkirakan bakal mendapat penolakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat melakukan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menilai penerapan
cost recovery masih diperlukan untuk mendorong kegiatan eksplorasi di wilayah kerja migas yang memiliki risiko kerja tinggi.
“Saya pikir penghapusan
cost recovery tidak bisa digeneralisir, yang harus dibatasi itu kriterianya seperti daerah-daerah yang sulit. Soalnya Indonesia akan rugi jika
cost recovery tetap dipakai tapi penggunaannya untuk wilayah kerja yang sudah ditemukan cadangan minyak dan berproduksi seperti Mahakam,” kata Kardaya di Jakarta, Rabu (4/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau dikenal dengan Tim Antimafia Migas menyatakan tengah mengkaji penghapusan
cost recovery atau dana penggantian investasi yang dikeluarkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam melakukan kegiatan eksplorasi serta produksi pada suatu blok migas.
Wacana penghapusan
cost recovery sendiri digulirkan lantaran pencatatan dan penggantiannya kerap diselewengkan dan menjadi celah korupsi para mafia migas. Sebagai gantinya, tim mengusulkan untuk mengganti
cost recovery menjadi insentif
royalty and tax.
Selain itu, tim yang dipimpin oleh Faisal Basri ini juga tengah mengkaji penerapan skema kontrak berbentuk
royalty and tax serta
services contract untuk beberapa wilayah kerja migas baru di Indonesia. Dimana penerapan kontrak tersebut akan diterapkan dengan mempertimbangkan kesulitan blok migas dan besarnya risiko kerja.
“Kalau soal bentuk, saya pikir setiap kontrak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi catatannya, kontrak yang akan dipilih dan diterapkan ke depan haruslah yang paling menguntungkan bagi negara,” cetus Kardaya.
Sementara praktisi senior migas Bagus Setiardja berpendapat sudah seyogyanya penghapusan
cost recovery dalam PSC dikaji dengan matang dan komprehensif demi memberikan keuntungan yang besar bagi negara sekaligus bisa memberikan kepastian bagi investor. Bagus menjelaskan, pada dasarnya pemberlakuan skema royalti di dalam PSC sendiri sudah tertuang dalam komponen
first transpetroleum (FTP) di PSC.
“Kalau ditanya kontrak apa yang cocok di Indonesia, tentunya saya memilih PSC karena sudah bagus dan dipakai dunia internasional. Hanya saja harus ada penyesuaian dan perbaikan untuk menjamin keuntungan negara dan mengawasi pembayaran
cost recovery. Jadi tidak bisa gegabah dan menerapkan
royalty and tax begitu saja tanpa ada kajian serta analisa yang tepat,” katanya.
(gen)