Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) mengakui salah satu pemicu gejolak harga daging di pasaran adalah strategi pedagang mengerem penjualan. Langkah ini diklaim bukan aksi penimbunan untuk mencari untung, tetapi lebih pada menjaga kesinambungan usaha hingga akhir tahun menyusul pasokan daging impor yang terbatas.
"Ini murni
supply-demand. Apa yang mau dimainkan, tidak ada. Kondisi sekarang ini, pemerintah hanya mengeluarkan izin impor 50 ribu untuk kuartal III, makanya perlu ada replacement untuk menjaga kontinuitas bisnis sampai lima bulan ke depan," ujar Direktur Eksekutif Apfindo, Johny Liano kepada CNN Indonesia, Senin (10/7).
Johny menjelaskan rata-rata kebutuhan konsumsi daging sapi nasional berkisar 300 ribu ekor per bulan atau 3,6 juta ekor dalam setahun. Permintaan terbesar ada di tiga wilayah, yakni Jabodetabek, Banten dan Bandung, yang mencapai sekitar 60 persen dari total kebutuhan nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Johny mengatakan kemampuan peternak lokal untuk memenuhi kebutuhan tersebut hanya sekitar 1,4 juta ekor per tahun. Pernyataan Johny itu mengutip data Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.
Untuk menutup selisih kurang itu, Kementerian Perdagangan hanya mengeluarkan izin impor masing-masing 250 ribu ekor sapi di kuartal I dan II tahun ini. Kuotanya dipangkas menjadi sebesar 50 ribu untuk periode Juli-September. Alhasil terjadi defisit pasokan sapi di pasaran yang otomatis berimbas pada melonjaknya harga jual.
Momentum QurbanSelain pasokan daging impor yang terbatas, Johny meyakini pasokan ternak lokal juga akan semakin langka pada bulan ini. Menurutnya, mayoritas peternak lokal sengaja tidak menjajakan hasil ternaknya hingga mendekati hari raya Qurban atau Lebaran Haji guna mendapatkan keuntungan lebih besar.
"Sapi jantan lokal sejak habis lebaran kemarin tidak keluar lagi karena (sengaja) ditahan oleh peternak dengan harapan saat Lebaran Haji bisa diual lebih mahal Rp 50-60 ribu per kilogram," katanya.
Dia mengingatkan, dalam struktur bisnis perdagingan ada komponen tenaga kerja yang juga harus dipertimbangkan. Untuk itu, kesinambungan usaha harus dijaga guna menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Johny menilai pemerintah harus realistis dalam merancang program swasembada pangan, terutama untuk daging sapi. Menurutnya, kebijakan itu mustahil untuk bisa direalisasikan dalam jangka pendek mengingat industri ternak dalam negeri belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan yang tinggi setiap bulannya.
"Solusi instan adalah dengan membuka keran impor. Dengan begitu, stok yang saat ini ada bisa kami keluarkan sekarang tidak harus dicicil dari kuota tiga bulan menjadi enam bulan. Karena kalau kami jual semua, maka di Oktober akan habis dan November-Desember kami tidak bisa jualan," tuturnya.
Johny Liano menambahkan, sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, sapi impor harus digemukkan dahulu selama tiga sampai empat bulan sebelum dipotong dan dijual.
"Jadi jangan berpikir karena ada stok misalnya 500 ribu di kandang, itu bisa langsung dipotong. Tidak bisa. Sesuai undang-undang harus digemukkan dahulu hingga mencapai bobot tertentu," katanya.
Menurut Johny, volume daging potong siap jual dari setiap satu ekor sapi yang digemukkan hanya sekitar 32 persen. Harga jual daging berbeda-beda tergantung kualitas dari sapi yang diimpor atau diternak.
"Harga sapi (belum dipotong) saat ini beragam, mulai dari Rp 42 ribu hingga Rp 44 ribu per kilogram. Tapi dari misalnya bobot sapi 450 kilogram, hanya 150 gram dagingnya (yang bisa dijual). Wajar jika harganya menjadi lebih mahal ketika sudah dipotong," tuturnya.
(ags/gen)