Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat ekonomi menyayangkan sikap pemerintah serta otoritas moneter yang terus menyalahkan kondisi ekonomi global terkait pelemahan rupiah. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai mengabaikan pelemahan rupiah yang bisa menjadi pemicu penurunan investasi yang makin melemahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyatakan bahwa kondisi tersebut sudah terjadi, dibuktikan dengan
capital outflow besar-besaran beberapa waktu terakhir ini.
Otoritas moneter, dalam hal ini BI dianggap perlu melakukan intervensi moneter lebih agresif lagi demi nilai tukar yang lebih stabil dan berdampak pada tertahannya arus modal keluar dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah dan BI selalu menyalahkan kondisi global sehingga tidak menganggap kasus ini butuh
emergency rescue. Mereka masih percaya bahwa ketika
capital outflow belum signifikan, Indonesia masih aman. Tapi kenyataannya, kemarin sudah terjadi arus
capital outflow dan tidak diantisipasi dengan baik," jelas Enny di Jakarta, Senin (24/8).
Ia menambahkan, meningkatnya
capital outflow juga perlu diiringi dengan penurunan suku bunga acuan BI Rate untuk tetap menjaga stabilitas arus investasi. Seharusnya, menurut Enny, BI juga memperhatikan hal ini di samping stabilitas makroekonomi seperti inflasi dan juga defisit neraca berjalan.
"Saya bingung dengan logikanya BI, mereka hanya konsentrasi kepada stabilitas
over growth yang mana bisa terpengaruh kalau fundamentalnya goyah," tambahnya.
Sebagai informasi, data Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa aksi beli asing hingga Juli 2015 mencatat angka Rp 3,87 triliun sedangkan aksi jualnya sudah mencapai Rp 600 triliun. Demi mengantisipasi hal tersebut terulang lagi, Enny mengimbau BI untuk segera melakukan stabilisasi nilai tukar dengan hati-hati melakukan intervensi pasar valuta asing.
"BI harus tahu bagaimana menggunakan Cadangan Devisa yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Selama ini BI hanya melakukan operasi pasar (valas), makanya harus ada data yang jelas tentang permintaan valas. Karena kalau ada transaksi valas domestik yang lebih besar dibandingkan transaksi valas luar negeri, ini yang bahaya," tambah Enny.
"Menanggapi permintaan yang tinggi itu, lebih baik BI yang ke pasar langsung, kalau operasi pasar tidak hati-hati kan malah membuang devisa. Seperti tahun 1998 dulu, operasi cadangan devisa kita tergerus tetapi stabilisasi nilai tukar tidak terjadi," ia menambahkan.
Sebagai informasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar langsung dibuka melemah 66 poin atau 0,47 persen pada perdagangaan Senin kemarin (24/8). Rupiah terpuruk dan sempat mencapai level Rp 14.006 dari sesi penutupan perdagangan hari sebelumnya di Rp 13.940 per dolar.
(gen)