Pemerintah Diminta Tak Andalkan Penerimaan dari Cukai Rokok

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Rabu, 26 Agu 2015 10:22 WIB
INDEF menilai kenaikkan tarif cukai rokok dapat menciptakan pengangguran di industri produk hasil tembakau dan menurunkan penerimaan negara.
Petugas menunjukkan barang bukti rokok ilegal di pabrik rokok ilegal di Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (11/6) malam.
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah diminta berhati-hati memasang target penerimaan dari pungutan cukai rokok dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengingatkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, untuk tidak gegabah dalam menaikan cukai rokok sebesar lebih dari 5 persen dari target Rp 140 triliun tahun ini.

Pasalnya, setiap kenaikan cukai tanpa disertai dengan law enforcement dari pemerintah maka sudah pasti akan berdampak langsung terhadap sektor yang paling sensitif akibat kenaikkan cukai yaitu ketenagakerjaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Enny menyebut sudah banyak bukti, kenaikkan cukai justru menciptakan pengangguran baru di industri padat karya tersebut. Ia khawatir jika beban yang diberikan kepada industri terlalu besar, bisa-bisa justru malah menciptakan pengangguran.

"Naiknya cukai juga menyuburkan rokok ilegal, sehingga industri dan pemerintah dirugikan," ujar Enny, Rabu (26/8).

Masalahnya, kata dia, kenaikan cukai itu ternyata tak berimbas pada kenaikan pendapatan negara. Yang ada justru pendapatan negara dari cukai rokok makin menurun.

Ia menilai, jika berpikir parsial, kapan pun cukai bisa saja dinaikkan dengan dalih meningkatkan pendapatan negara. Seperti diketahui, saat ini cukai rokok menyumbang 95 persen dari nilai cukai yang artinya pemerintah masih mengandalkan industri rokok untuk mendapatkan cukai, namun sektor-sektor lain yang berpotensi menghasilkan pungutan cukai besar sering diabaikan.

Dampak naiknya tarif cukai menurutnya terutama dirasakan langsung oleh industri sigaret kretek tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja.

"Objek cukai tidak hanya rokok, masak hampir 95 persen cukai hanya dari rokok, ini sangat ironis. Jangan sampai setiap rencana kenaikan pendapatan negara berdampak pada kontraksi ekonomi," tandasnya.

Oleh karena itu diperlukan strategi pintar untuk mencapai target. Salah satunya adalah dengan membidik wajib pajak yang terus menghindar dari pelunasan kewajibannya. Jangan sampai wajib pajak yang tertib terus ditekan sehingga kontradiktif.

"Pemerintah harus berani mengejar perusahaan asing yang tidak bayar pajak, yang melakukan transfer pricing harus ditindak," tegasnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jawa Timur Sulami Bahar menambahkan, pada 2014 ketika tarif cukai naik, sebanyak 19 ribu buruh rokok kretek mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu Sulami mencatat di 2014 ada sekitar 400 pabrik rokok skala kecil tutup gara-gara cukai naik.

"Kami yang sudah memberi kontribusi luar biasa terhadap negara, tetapi  industri tembakau nasional selalu dirongrong," tegasnya.

Sulami mengusulkan ketimbang hanya membebani industri tembakau dengan pajak dan cukai tinggi, akan lebih baik pemerintah membuat  grand design bagaimana melindungi industri hasil tembakau terutama pabrik-pabrik kecil agar tidak gulung tikar di tengah kenaikan cukai tinggi.

"Industri tembakau harus diberi keringanan seperti ada pajak khusus, kemudian fasilitas kredit, juga diberikan penghargaan bagi mereka yang mencapai target," ujarnya.

(ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER