Kisah Petani Pakpak Bharat Menolak Perambahan Hutan

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Sabtu, 29 Agu 2015 16:20 WIB
"Kami sudah sepakat untuk melestarikan lingkungan dan tetap menjaga hutan, karena hutan juga termasuk tanah marga atau ulayat kami," ujar Aris Padang.
Aris Padang, petani di Pakpak Bharat, Sumatera Utara. (CNN Indonesia/Deddy Sinaga)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kabupaten Pakpak Bharat di Sumatera Utara berbatasan langsung dengan area Taman Nasional Gunung Leuser. Sebanyak 83 persen wilayah kabupaten ini adalah hutan belantara.

Tak heran kalau aktivitas pertanian warga di sana selalu bersentuhan dengan hutan. Tapi kadang-kadang untuk meningkatkan produksi, petani merambah hutan.

Tetapi ada juga petani yang berkukuh untuk menjaga kelestarian hutan, meski sebagai konsekuensinya mereka sulit meningkatkan produktivitas lahannya yang sempit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kami sudah sepakat untuk melestarikan lingkungan dan tetap menjaga hutan, karena hutan juga termasuk tanah marga atau ulayat kami,” tutur Aris Padang, warga Desa Malum, Kecamatan STTU Jehe, Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Rabu (26/8).

Aris sudah menanam 4 ribu batang pohon seperti durian, duku, dan jengkol di hutan. Langkah ini, kata dia, sudah diikuti banyak petani di desanya.

Sebagai kompensasi, warga meminta pemerintah maupun lembaga konservasi memberikan imbal balik berupa perbaikan prasarana publik, antara lain jalan raya serta tempat mandi dan cuci.

Akses ke Desa Malum memang terbilang ekstrim. Jalan aspal kasar yang lebarnya tak sampai 3 meter banyak berlubang dan ada yang nyaris putus karena longsor tergerus air hujan.

Program Sustainable Agriculture Landscape Partnership (SALP) digelar sejak dua tahun lalu di kawasan itu. Ini adalah proyek ‘keroyokan’ lembaga swadaya masyarakat Conservation International (CI) dan Monsanto Indonesia, produsen benih-benih unggul seperti jagung, kapas, dan sayur-mayur.

Program ini dimaksudkan untuk melatih petani melakukan pertanian berkelanjutan. Maksudnya, mereka tetap bertani di lahan yang sama tapi dengan intensifikasi sehingga produksinya meningkat.

Salah satu contoh petani yang merasakan dampak baik program itu adalah Jidin Berutu, di Desa Bandar Baru, Kecamatan STTU Jehe. Dia baru saja memanen jagung dengan pendapatan yang lumayan.

Dari total lahan seluas 4 ribu meter persegi, sebagian ditanami jagung, di samping duku, dan tanaman keras lain. Jidin memanen dan menjual 2,4 ton jagung yang sudah dikeringkan. Total pendapatan dari jagung yang umurnya 4 bulan itu dia meraup Rp 5 juta.

“Dulu paling setengahnya,” kata Jidin, di lahannya yang miring mengikuti kontur perbukitan. Melalui program SALP, Jidin dan para petani di daerah itu mendapat bantuan bibit jagung yang unggul.

Mauricio Amore, CEO Monsanto Indonesia, mengatakan pertanian yang berkelanjutan cocok diterapkan di daerah yang berbaur dengan kawasan hutan lindung. “Karena kalau harus membuka lahan baru, berarti membuka hutan,” katanya, kepada CNN Indonesia, Rabu (26/8).

Tapi untuk menambah penghasilan, masyarakat pun boleh menanam tanaman lain di dalam hutan lindung. Cara ini, kata R. Sabrina, staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, termasuk konsep hutan kemasyarakatan, di mana hutan pun berkontribusi pada ketahanan pangan.

“Jengkol saja bisa memicu inflasi, kenapa enggak ditanam di hutan? Di Pakpak bisa kemiri, kopi, jadi enggak tebang hutan tapi mendapat hasil pangan,” tuturnya. “Selama ini kita baru terpaku fungsi hutan penghasil kayu.”

Iman Santoso dari CI mengatakan bentang pertanian perlu dipertahankan dan diintensifikasi supaya mampu mendukung ketahanan pangan, bukan dengan membuka lahan baru dan membuka hutan. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER