BLU CPO Fund Usulkan Wajib PSO Bagi Industri Sawit Diperketat

CNN Indonesia
Sabtu, 05 Sep 2015 06:22 WIB
Pemerintah juga diminta memberikan sanksi bagi perusahaan sawit yang tidak melakukan PSO atau wajib pasok dalam negeri untuk mendukung mandatori B15.
Direktur Utama BLU CPO Fund Bayu Krisnamurthi. (Detikcom/Rachman Haryanto).
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit mengusulkan kepada pemerintah untuk mewajibkan perusahaan-perusahaan sawit memasok kebutuhan dalam negeri (public service obligation/PSO) demi mendukung suksesnya program mandatori biodiesel 15 persen (B15).

Instansi yang juga biasa disebut Badan Layanan Umum (BLU) CPO Fund tersebut mengusulkan penetapan besaran volume PSO dalam pelaksanaan mandatori B15 dilakukan secara pro rata berdasarkan kapasitas terpasang masing-masing produsen, yang telah terdaftar dan diverifikasi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kebijakan seperti itu menurut Direktur Utama BLU CPO Fund Bayu Krisnamurthi penting untuk dilakukan pemerintah demi mengawasi perusahaan pemasok bio diesel secara ketat, sehingga mereka tidak bisa bermain-main dengan kapasitas produksi yang dimilikinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Jadi kalau produsen itu kapasitas produksinya misalnya 50 ribu kiloliter (KL) maka dia hanya bisa memasok sesuai kapasitas tidak bisa lebih. Itu verifikasinya ada di kementrian ESDM secara ketat,” tegas Bayu saat diskusi optimasi industri sawit untuk energi terbarukan di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Jumat (4/9).

Bayu menegaskan sisa PSO yang ada tahun ini mencapai 750 ribu KL. Meski demikian tahun depan kapasitasnya akan meningkat menjadi 1,5 juta KL.

“Bagi perusahaan yang mempunyai kapasitas produksi besar mohon bersabar nanti tahun depan bisa ditingkatkan. Saat ini karena sisa sedikit maka dibagi rata,” tembahnya.

Pembagian pro rata ini menurut mantan Wakil Menteri Perdagangan juga untuk membatasi peluang hadirnya para calo yang sekadar bermodal kuota saja tanpa memiliki akses produksi.

“Sejak awal, biodiesel jenis sawit harus membangun tata kelola yang bagus agar tecipta iklim usaha yang kondusif dan efisien,” kata Franky Oesman Widjaja, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis dan Pangan.

Franky juga mengusulkan agar pemerintah gencar mengeluarkan kebijakan untuk intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan sawit. Kedua hal ini dibutuhkan agar ketersediaan pasokan CPO terus terjaga baik untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan energi terbarukan.

“Ke depan, pemanfaatan biodiesel sebagai energi terbarukan akan semakin besar. Ini harus ditopang dengan ketersediaan pasokan CPO agar indusri biodiesel nasional bisa kompetitif,” kata Franky.

Menanggapi hal tersebut, Bayu mengatakan intensifikasi perkebunan sawit antara lain akan ditopang melalui guyuran dana untuk riset dan pengembangan dari hasil dana pungutan sawit yang disetor pengusaha sawit.

“Research and development diarahkan untuk mendapatkan benih unggul baik dari sisi produktivitas maupun penggunaan bahan pendukungnya,” katanya.

Sanksi dan Insentif

Usulan kebijakan lain yang disampaikan Kadin adalah penetapan sanksi bagi badan usaha yang tak melaksanakan mandatori B-15. “Sanksi ini harus cukup besar secara finansial agar badan usaha tak mangkir karena lebih memilih membayar denda,” kata Franky.

Namun selain sanksi, Kadin juga meminta pemerintah bersedia memberikan insentif fiskal untuk memperkuat industri sawit dalam energi terbarukan. Misalnya tax holiday atau tax allowance bagi para pelaku industry biodiesel.

Sebagaimana diketahui, sejak Agustus 2015 lalu mandori B15 telah bergulir setelah sebulan sebelumnya BLU mulai menarik dana pungutan kepada pengusaha sawit yang besarannya bervariasi.

Diperkirakan pelaksanaan mandatori ini mampu menyerap produksi biodiesel dalam negeri sebesar 5,3 juta KL (setara dengan 4,8 juta ton Crude Palm Oil/CPO) dan memberikan penghematan devisa sebesar US$ 2,54 miliar.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER