Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Simpang siur rencana kenaikan suku bunga the Fed, akhirnya terjawab dari haril rapat
Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17 September 2015. Bank sentral Amerika Serikat (AS) memutuskan tidak menaikkan suku bunga. Pasar sebetulnya berharap bank sentral AS tersebut sesegera mungkin merealisasi kenaikan. Ekonomi global, terutama negara-negara berkembang, sejak lama terombang-ambing ketidakjelaskan rencana itu. Ongkos ketidakpastiaan dalam bentuk spekulasi pemain di pasar negara berkembang, bukan hanya menekan pasar keuangan tetapi telah merembes ke sektor produk barang dan jasa (rill). Nilai tukar dan harga saham, biasanya tergerak ke bawah saat itu koreksi suku bunga AS berkumandang.
Indikator-indikator makroekonomi AS sebetulnya telah menunjukkan perkembangan cukup berarti. Realisasi pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II-2015 menembus 3,7 persen (yoy). Bahkan, realisasi hingga akhir tahun akan di atas proyeksi
International Monetary Fund (IMF) sekitar 2,5 persen (yoy). Tingkat pengangguran telah turun cukup signifikan, menjadi 5,1 persen pada Agustus 2015. Angka tersebut telah turun hingga 1 persen sejak Agustus tahun lalu. Hanya saja inflasi masih negatif pada angka -0,1 persen per Agustus. Lalu apa sebetulnya yang dinanti AS?
Kelemahan Internal
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah, memang, ekonomi AS telah pulih seutuhnya? Ekonomi pemilik Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia ini masih menghadapi tiga persoalan yaitu (i) pertumbuhan ekonomi yang belum sepenuhnya membaik (
economic growth), (ii) stabilitas harga (
price stability); (iii) serta persoalan penyerapan tenaga kerja maksimal (
maximum employment). Poin kedua dan ketiga merupakan target kebijakan bank sentral.
Jika diperhatikan, pemulihan ekonomi AS memang belum mencapai titik aman. Realisasi pertumbuhan PDB sebagian besar ditopang oleh konsumsi rumah tangga (57 persen). Peranan investasi langsung dan belanja pemerintah cukup terbatas, masing-masing 23,85 persen dan 12,74 persen. Sedangkan kinerja ekspor melambat karena apresiasi dolar. Kondisi ini menunjukkan bahwa belum ada ruang bagi AS untuk meningkatkan peranan komponen pembentuk PDB. Sehingga, akan mengkhawatirkan jika keputusan penaikan suku bunga dilaksanakan.
Penaikan suku bunga the Fed akan menyebabkan lonjakan suku bunga bank. Hal itu tidak baik bagi sektor konsumsi, yang masih menjadi topangan bagi pertumbuhan ekonomi AS. Pertumbuhan konsumsi swasta masih sangat rentan, karena belum pulihnya sektor tenaga kerja. Inflasi yang masih negatif juga menunjukkan bahwa konsumen masih menahan untuk berbelanja, sehingga jika dihajar dengan penaikan suku bunga akan berdampak lebih buruk terhadap sektor konsumsi. Pada bagian lain, kinerja investasi pun belum menunjukkan prestasi yang cemerlang, sehingga perlu menahan agar suku bunga (
cost of fund) tetap rendah.
Sektor ketenagakerjaan AS juga masih menyimpan berbagai masalah. Pertama, jika mengikuti konsep teori kurva Philips tentang hubungan negatif antara inflasi dan tingkat pengangguran, kondisi di AS cenderung tidak sejalan. Saat tingkat pengangguran terbuka menurun, seharusnya ikuti dengan peningkatan inflasi (demikian sebaliknya). Pada Agustus 2015, tingkat pengangguran telah menembus 5,1 persen (turun dari 5,3 persen per Juli) sedangkan inflasi malah turun menjadi -0,1 persen (dari 0,1 persen per Juli). Artinya, peningkatan penyerapan tenaga kerja, tidak serta merta meningkatkan konsumsi barang dan jasa, yang pada gilirannya menaikkan harga umum (inflasi). Fakta yang muncul adalah peningkatan penyerapan tenaga kerja sebagian besar berasal dari pekerja pada paruh waktu (
part time). Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian dan industri terkait justru turun pada Agustus 2015.
Kedua, persoalan angka partisipasi kerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja, belum mendorong lonjakan pada angka partisipasi tenaga kerja. Data
Bureau of Labor Statistics (2015) menunjukkan, tingkat partisipasi tenaga kerja pada Agustus masih 62,6 persen. Angka ini tidak berubah sejak Juni, bahkan telah turun dari posisi Agustus 2014 (62,9 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah orang yang bekerja sebetulnya tidak meningkat, tetapi mereka bergerak dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, atau bekerja dengan jam kerja yang lebih sedikit.
Ketiga, potensi kenaikan tingkat pengangguran juga masih mungkin terjadi. Penurunan harga minyak dunia memunculkan kekhawatiran tentang daya serap tenaga kerja sektor pertambangan. Sejak Juni hingga Agustus 2015, penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan telah menyusut hingga 20 ribu tenaga kerja.
Faktor lainnya berkaitan dengan inflasi. Perkembangan inflasi AS hingga Agustus 2015 masih menunjukkan penurunan. Komponen inflasi energi telah menyusut hingga 15 persen (yoy) dan harga minyak telah turun hingga 34,6 persen (yoy). Lonjakan harga hanya terjadi pada kelompok makanan. Realisasi inflasi yang masih menunjukkan penurunan, akan mengancam pemenuhan target inflasi 2 persen.
Faktor Kelesuan GlobalPerlambatan ekonomi global menjadi salah satu faktor penyebab gagalnya eksekusi penaikan suku bunga the Fed. Pelemahan ekonomi China berdampak signifikan bukan hanya terhadap prospek ekonomi AS terhadap juga ekonomi global. AS akan mengkalkulasi keputusan penaikan suku bunga the Fed, agar tidak menjadi bumerang bagi ekonominya.
Ada beberapa sektor ekonomi AS yang akan terpuruk jika penaikan suku bunga dilaksanakan. Pertama, sektor konsumsi. Menaikkan suku bunga sama artinya membuka menarik dana asing masuk. Jumlah uang beredar akan melonjak signifikan sehingga mendorong inflasi. Memang, saat ini AS menginginkan lonjakan inflasi pada target 2 persen. Namun, dorongan inflasi yang bersumber dari aktivitas pasar uang, tidak berdampak daya beli konsumen, karena bukan berasal dari lonjakan pemintaan masyarakat terhadap barang dan jasa.
Kedua, sektor ekspor. Aliran dana masuk mengarah pada apresiasi Dollar, sehingga akan menghantam kinerja ekspor. Data Bank Indonesia menunjukkan pada Agustus 2015 nilai dolar AS terhadap Euro telah menguat 17 persen (yoy); Inggris pound 8 persen (yoy); yen Jepang 16 persen (yoy); rupiah 20,33 persen (yoy); ringgit Malaysia 33 persen (yoy) dan won Korea 16 persen (yoy).
Keputusan the Fed untuk menahan suku bunga acuan, menyulut berbagai tekanan di negara berkembang. Negara-negara di dunia, kembali akan berspekulasi kenaikan suku bunga tersebut pada dua rapat terakhir FOMC di Oktober dan Desember. Harus diakui, cukup sulit untuk menghindari dari situasi ini, karena memang AS menjadi pemain disegala bidang. Peranan perekonomiannya, yang mencapai 20 persen dari PDB dunia menjadikannya sangat powerfull. Hanya isu kenaikan saja suku bunga saja, ekonomi negara-negara di dunia terseret ke bawah.
(ded)