Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menilai semakin berkembangnya globalisasi keuangan membuat sistem keuangan nasional mudah terimbas krisis. Untuk memitigasi risiko sekaligus mengambil langkah taktis untuk mengendalikan keadaan, Menkeu menilai Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sangat diperlukan.
"Urgensi dari JPSK adalah karena sekarang krisis keuangan sudah berbeda dengan 1998. Di masa lalu, krisis tidak terjadi dalam waktu pendek atau biasanya memakan waktu lama. Sekarang krisis gampang sekali terpicu atau paling tidak guncangan di pasar lebih sering dari masa lalu," ujar Bambang di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senin (28/9).
Tanpa adanya payung hukum yang kuat berupa UU JPSK, Menkeu meyakini tidak akan ada pejabat negara yang terkait dengan sistem keuangan berani untuk mengambil tindakan penanganan krisis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itulah motivasi UU JPSK harus ada karena kemungkinan krisis bisa terjadi kapan pun," tuturnya.
Belajar dari penanganan krisis Bank Century, pemerintah dan DPR pada Juli lalu menyepakati untuk mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu JPSK) bersamaan dengan diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) JPSK yang baru.
Bambang menjelaskan, sustansi RUU JPSK yang baru merupakan revisi dan perbaikan dari rancangan beleid serupa yang pernah menjadi polemik di parlemen. Konsep JPSK baru ini nantinya akan berlaku baik dalam kondisi normal maupun tak normal (krisis).
Dalam rancangan beleid tersebut, Bambang menjelaskan ada tiga ruang lingkup penanganan krisis yang menjadi domain dari Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Lingkup pertama mencakup koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan sistem keuangan.
Lingkup berikutnya adalah penanganan kondisi tidak normal, serta penanganan permasalahan bank berdampak sistemik atau
Systemically Important Bank (SIB).
"Keputusan status normal, siaga, waspada atau krisis harus mufakat (di KSSK). Semua anggota KSSK tidak bisa lari dari tanggung jawab sehingga keputusannnya harus bulat. Penanganannya juga harus disepakati semua," tuturnya.
Adapun yang akan menjadi anggota KSSK kelak adalah Menkeu selaku koordinator, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Bila kondisi tidak normal, KSSK akan menentukan langkah penanganan. Langkah penanganan dilaporkan kepada presiden dalam waktu 1x24 jam," jelasnya.
Tahapan PenangananMenurut Bambang, dalam RUU JPSK yang baru telah diatur tahapan penanganan permasalahan bank berdampak sistemik. Tahapan pertama adalah bank yang bermasalah harus mencari solusi sendiri terlebih dahulu (
bail in) sebelum meminta pertolongan ke otoritas terkait.
"Kalau tidak sanggup, baru dilakukan langkah penanganan. Bank bisa mengajukan permohonan pinjaman jangka pendek ke BI, tapi harus koordinasi ke OJK," tuturnya.
Apabila pinjaman jangka pendek BI tidak juga menyelesaikan masalah, Menkeu mengatakan SIB bisa mengajukan pemohonan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) dari BI dengan persetujuan KSSK. PLK hanya diperuntukan bagi bank-bank SIB yang kondisinya masih bisa diselamatkan.
"Bila SIB tidak bisa menyelesaikan masalah solvabilitas, OJK akan meminta rapat kepada KSSK. Bank sistemik bisa diserahkan kepada LPS untuk dilakukan penanganan," jelasnya.
"Caranya, melanjutkan pengalihan aset atau kewajiban kepada pihak lain atau mengalihkan kepada bank baru atau bank perantara (
bridge bank)," lanjutnya.
Apabila LPS kesulitan likuiditas, Menkeu mengatakan baru pemerintah turun tangan dengan memberikan pinjaman kepada LPS.
(gen)