Kemenperin Ketar-Ketir Hadapi Pasar Bebas Asean

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 31 Des 2015 07:34 WIB
Serangan barang impor dari negara tetangga menjadi ancaman serius yang harus dijawab Kemenperin untuk bisa melindungi pelaku industri nasional.
Haris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, di kantornya, Selasa (5/5). (CNNIndonesia/Agust Supriadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mulai ketar-ketir menghadapi pasar bebas dalam kerangka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang efektif berlaku mulai hari ini.

Serangan barang impor dari negara tetangga menjadi ancaman serius yang harus dijawab Kemenperin untuk bisa melindungi pelaku industri nasional di tengah kompetisi ketat di kawasan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Haris Munandar sudah membaca implikasi terburuk dari pelaksanaan MEA, antara lain membanjirnya barang-barang industri impor dengan harga yang lebih murah dibandingkan produksi lokal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemenperin, katanya, telah mengantisipasi ancaman itu dengan mendorong standarisasi produk lokal agar bisa bersaing di tengah bebasnya arus barang pasca penerapan MEA. Dengan adanya pelaksanaan standarisasi, Haris berharap nantinya hanya produk industri impor yang berkualitas saja yang bisa masuk ke Indonesia.

Menurutnya, masih ada beberapa produk industri Indonesia yang tidak bisa bersaing secara harga dengan barang-barang industri impor. Demi mengompensasi hal itu, standarisasi dianggap sebagai langkah yang tepat mengingat produk industri impor yang murah kadang tak diiringi dengan kualitas yang baik.

"Salah satu objective kami tentunya juga menjamin perlindungan konsumen. Maka dari itu standarisasi sangat penting agar hasil industri domestik bisa bersaing secara kualitas dengan produk impor," jelas Haris kepada CNN Indonesia, Rabu (30/12).

Meski standarisasi merupakan hal yang krusial di dalam pelaksanaan MEA, ia mengaku kalau pemberian Standar Nasional Indonesia (SNI) bukan hal yang perlu dipermasalahkan karena setiap tahunnya selalu ada pelaksanaan standarisasi bagi barang-barang industri.

Pada tahun 2015, Kemenperin telah mengajukan 116 Rencana SNI (RSNI) barang industri, di mana 102 diantaranya berhasil mendapat label tersebut. Untuk tahun depan, rencananya Kemenperin menargetkan RSNI bagi 100 jenis barang lainnya.

Namun, Haris menyadari tak cukup hanya dengan standarisasi produk untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Menurutnya, harus diimbangi pula dengan efisiensi biaya produksi agar produk yang dihasilkan bisa bersaing dari segi harga, baik untuk pasar ekspor maupun domestik.

"Demi menghadapi MEA juga diperlukan bahan baku industri yang murah, namun sayangnya 67 persen bahan baku industri pengolahan non-migas itu masih diimpor. Makanya kami juga dorong industri substitusi impor agar bisa berkembang, terutama industri yang meproduksi barang setengah jadi (intermediate goods)," jelas Haris.

Kemenperin menargetkan pertumbuhan nilai output sektor industri tahun depan sekitar 5,7-6,1 persen. Angka tersebut sedikit lebih optimistis dibanding target pertumbuhan industri tahun ini 5,2-5,5 persen.

Hingga akhir tahun ini, Kemenperin juga berharap industri pengolahan non migas bisa berkontribusi sebesar 21,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Proyeksi itu meningkat tipis dibandingkan proporsi tahun lalu sebesar 20 persen terhadap PDB. (ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER