Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan perusahaan sarung tangan karet nasional gulung tikar karena kalah bersaing dengan kompetitor asing. Saat ini hanya tinggal enam perusahaan sarung tangan karet yang bertahan di Sumatera Utara.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Indonesia (ASTA), Achmad Safiun menuturkan, industri sarung tangan karet mengalami tekanan hebat sudah sejak 2006. Selain karena faktor harga gas yang tinggi, industri ini juga menderita karena pasokan karet berkualitas yang terbatas.
"Anggota kami (ASTA) semakin berkurang karena banyak yang tutup. Tadinya ada puluhan perusahaan yang menjadi anggota kami, sekarang tinggal enam saja," ujar Achmad Safiun kepada CNN Indonesia, Kamis (31/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Achmad, seluruh perusahaan sarung tangan karet yang tersisa saat ini menjalankan bisnisnya di sekitar sentra perkebunan karet Sumatera Utara. Industri sarung tangan karet terkonsentrasi di Sumatera Utara demi untuk mendapatkan karet hasil sadapan yang berkualitas bagus untuk dijadikan bahan baku produksi.
"Dulu ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetapi semuanya tutup sudah," katanya.
Dia menambahkan, saat ini 85 persen perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat dan sisanya 15 persen merupakan perusahana perkebunan. Kecuali di Sumatera Utara, perusahaan perkebunan menguasai 20 persen lahan perkebunan karet sedangkan sisanya dikelola oleh petani.
"Permasalahannya, di Indonesia itu biasanya petani menyadap karet kurang bersih. Kadang-kadang flat, dibekukan, bahkan terkadang kotor," tuturnya.
Kondisi industri sarung tangan karet, lanjut Achmad Safiun, semakin tertekan dengan diterapkannya pasar bebas kawasan dalam kerangka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). "Hanya beberapa saja yang siap, tetapi sebagian besar industri menyatakan tidak siap mengahdapi MEA," katanya.
(ags)