Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah lesunya perekonomian dunia saat ini, kinerja ekspor Indonesia terus memburuk. Dalam sembilan bulan pertama tahun 2015 nilai ekspor Indonesia hanya mencapai US$115,07 milyar, turun 13,3 persen dari periode yang sama tahun 2014.
Ekspor yang turun membuat perusahaan-perusahaan yang beriorientasi ekspor menurunkan kegiatan produksi karena permintaan akan produk mereka juga turun. Akibatnya, sebagian perusahaan di sini sudah mulai mengurangi jam kerja karyawannya, bahkan ada yang sudah melakukan PHK. Mereka yang dirumahkan atau yang kena PHK sudah barang tentu akan berhati-hati dalam berbelanja, atau akan mengurangi belanja mereka.
Artinya, daya beli masyarakat terkena dampak negatif dari lesunya perekonomian dunia. Mengingat belanja rumah tangga memberi kontribusi yang amat signifikan terhadap perekonomian, tidaklah mengherankan bila ekonomi kita melambat secara signifikan dalam beberapa triwulan terakhir. Jadi, turunnya kinerja ekspor telah memberi dampak negatif terhadap perekonomian kita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika perekonomian dunia sedang melambat biasanya pemerintah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan ekspor. Hal ini dilakukan, antara lain, dengan meningkatkan daya saing produk kita, menggalakkan promosi, dan meningkatkan aktivitas perdagangan dengan negara-negara yang selama ini bukan tujuan ekspor utama kita (mencari pasar baru).
Langkah mencari pasar baru memang penting. Akan tetapi, kita juga tidak boleh lupa meningkatkan aktivitas perdagangan dengan negara-negara mitra dagang utama kita.
Selain meningkatkan daya saing produk dengan meningkatkan efisiensi produksi, peningkatan aktivitas perdagangan juga dapat dilakukan dengan melakukan perjanjian perdagangan. Dalam perjanjian perdagangan biasanya halangan perdagangan (tarif maupun non-tarif) akan dihilangkan secara bertahap.
Penurunan halangan perdagangan ini akan memicu peningkatan perdagangan antara negara-negara yang ikut dalam perjanjian perdagangan tersebut. Kemakmuran masyarakat yang ikut dalam perjanjian tersebut juga biasanya akan turut meningkat (peningkatan ekspor akan meningkatkan aktivitas perekonomian, daya beli, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan).
Sayangnya, Indonesia agak lalai dalam hal memelihara dan meningkatkan hubungan perdagangan dengan beberapa negara tujuan utama ekspor kita. Baru-baru ini duabelas negara di kawasan Asia-Pasifik mengumumkan kesepakatan baru yang disebut
Trans Pacifif Partnership, TPP. Negara-negara tersebut adalah AS, Jepang, Australia, Peru, Malaysia, Vietnam, New Zealand, Chile, Singapura, Kanada, Meksiko, dan Brunei. Indonesia tidak ikut dalam kesepakatan tersebut.
TPP bukan hanya menyangkut masalah perdagangan barang saja, tetapi pada gilirannya akan mencakup juga masalah liberalisasi sektor jasa dan sektor finansial, memperbaiki arus investasi dan perpindahan tenaga kerja, termasuk juga kondisi institusional yang mendukung tujuan tersebut, seperti kerangka hukum yang berkaitan dengan BUMN, kompetisi, maupun hak intelektual.
Tujuan TPP tampak terlalu agresif, akan tetapi sebenarnya kita sudah terbiasa dengan arah perkembangan suatu perjanjian seperti itu. Kita masih ingat bahwa perjanjian di kawasan ASEAN pun dimulai dengan liberalisasi perdagangan barang, kemudian dilanjutkan dengan liberalisasi sektor jasa, dan pada akhir tahun ini kita akan mengimplementasikan Masyarakat Asean.
Walaupun rincian dari TPP belum terlalu jelas, rasanya langkah pertama yang akan dilakukan adalah liberalisasi di bidang perdagangan. Dalam hal ini Indonesia harus waspada, karena dua negara tujuan ekspor utamanya (Jepang dan AS) sudah ikut dalam TPP. Pangsa ekspor non-migas Indonesia ke AS mencapai 11,5 persen (Januari-September 2015), sedangkan ke Jepang mencapai 9,8 persen (gambar 1). Sementara itu, beberapa negara ASEAN (Malaysia, Singapura, dan Vietnam) yang menjadi pesaing utama Indonesia di pasar AS maupun Jepang sudah ikut dalam TPP.
 Gambar 1: Pangsa Ekspor Non-migas Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor(Sumber: Biro Pusat Statistik) |
Keikutsertaan Malaysia, Singapura, dan Vietnam dalam TPP dapat memperburuk daya saing produk Indonesia di pasar negara-negara TPP, utamanya di Jepang dan AS. Saat ini saja, tanpa perbedaan perlakuan yang berbeda secara signifkan, produk-produk Indonesia sudah mengalami tekanan. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari keadaan ekspor negara-negara tersebut ke AS (dilihat dari data impor AS karena pencatatan datanya lebih seragam). Pada tahun 2014 Vietnam dan Malaysia merupakan negara Asean pengekspor produk non-migas terbesar ke AS. Indonesia hanya menempati posisi ke empat (gambar 2).
Hal yang perlu diwaspadai adalah dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekspor Indonesia ke AS cenderung lebih lambat dibandingkan dengan Vietnam. Ekspor Vietnam ke AS bahkan sudah melewati Indonesia sejah tahun 2012. Selain itu, ekspor kita pun tampak sulit mengejar ekspor Malaysia, ataupun Thailand.
 Gambar 2: Total Impor AS dari Beberapa Negara Asean (Nilai Cif)(Sumber: US International Trade Commission Database) |
Vietnam adalah negara yang perlu kita waspadai dalam hal merebut pangsa pasar di AS untuk saat ini. Banyak produk-produk non-migas unggulan kita yang bersaing langsung dengan produk-produk dari Vietnam. Sebagai contoh, produk sepatu dari Vietnam sudah melewati Indonesia sejak tahun 2005 (gambar 3).
Pada tahun 2014 impor sepatu AS dari Vietnam bahkan sudah dua kali dari impor sepatu AS dari Indonesia. Indonesia juga mengalami tekanan dari Vietnam untuk produk-produk seperti
sweater, kopi, pakaian pria, dan pakaian wanita.
 Gambar 3: impor sepatu as dari beberapa negara asean (nilai cif). (Sumber:Dok. US International Trade Commission Database) |
Sementara itu, sebagian besar produk Malaysia yang dikirim ke AS tidak bersaing langsung dengan produk utama Indonesia. Hal ini dikarenakan Malaysia sudah bergerak ke produk yang sudah meningkatkan nilai tambah, dan cenderung memanfaatkan teknologi tinggi. Namun, ada juga produk Malaysia yang saat ini bersaing dengan Indonesia di pasar AS, misalnya minyak sawit. Walaupun Indonesia saat ini dikenal sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, di pasar AS ternyata ekspor kita jauh berada di bawah Malaysia.
Impor minyak sawit AS dari Malaysia sudah mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 2005, sedangkan impor dari Indonesia baru meningkat signifikan baru-baru ini saja. Pada tahun 2014 impor minyak sawit AS dari Malayasia mencapai US$ 655,7 juta, jauh lebih besar dari impor dari Indonesia yang hanya mencapai US$366,7.
 Gambar 4: impor minyak sawit as dari beberapa negara asean (nilai cif). (Sumber: Dok. US International Trade Commission Database) |
Data-data di atas menggambarkan dengan gamblang bahwa saat ini Indonesia mengalami tekanan daya saing yang cukup besar di pasar AS. Rasanya hal yang sama juga terjadi di pasar Jepang. Dengan masuknya Vietnam, Malaysia, dan Singapura ke dalam TPP, sudah hampir dipastikan dalam hal perdagangan negara-negara tersebut akan memperoleh perlakuan yang semakin meningkatkan daya saing mereka di pasar AS maupun Jepang (misalnya dalam bentuk penurunan tarif impor maupun perlakuan istimewa lainnya).
Perlu dikemukakan juga di sini bahwa saat ini pemerintah sering mengatakan akan lebih fokus ke produk yang lebih menciptakan nilai tambah, bukan produk-produk tradisional yang disebutkan di atas (seperti sepatu, baju, produk pertanian, minyak sawit).
Bila kita memang bergerak ke arah sana, di segmen ini kita akan bersaing langsung dengan produk-produk dari Malaysia maupun Singapura. Di pasar AS dan Jepang TPP akan membuat produk-produk mereka akan lebih diuntungkan (karena impor tarif yang lebih rendah), sehingga lebih kompetitif dari produk-produk Indonesia.
Jadi, TPP akan membuat produk-produk Indonesia kurang kompetitif di pasar negara-negara yang tergabung dalam TPP, utamanya AS dan Jepang. Untuk menghindari tergerusnya daya saing lebih jauh, Indonesia memang sebaiknya turut bergabung dengan TPP. Jadi, pernyataan Presiden Jokowi untuk bergabung dengan TPP adalah suatu kebijakan yang benar.
Walaupun demikian, dalam setiap liberalisasi perdagangan selalu ada sektor-sektor atau pihak-pihak di dalam negeri yang terkena dampak negatif jangka pendek. Pemerintah tetap perlu mewaspadainya, dan harus dapat menciptakan kebijakan yang dapat mengurangi dampak negatif tersebut.