Jakarta, CNN Indonesia -- Meskipun depresiasi nilai tukar rupiah telah terjadi sejak tiga tahun terakhir, namun ahli Fengshui Budiyono Tantrayoga meminta pemerintah mewaspadai potensi meroketnya nilai tukar dolar Amerika di pertengahan tahun ini. Keterpurukan rupiah yang diterawangnya demikian dalam, menjadi penyebab ekonomi Indonesia malas diajak bertumbuh.
Pria yang kerap disapa Suhu Tan itu menyatakan, periode terendah bagi nilai tukar rupiah akan terjadi sepanjang Mei-Juli 2016.
“Indonesia akan mengalami keterpurukan ekonomi cukup tajam pada Mei, Juni, dan Juli karena saya perkirakan akan terjadi banyak pergolakan ekonomi selama periode itu karena nilai tukar rupiah cenderung tertekan,” kata Suhu Tan saat ditemui CNNIndonesia.com di kediamannya, Jakarta, Kamis (31/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan pemerintah harus siap menghadapi panasnya kobaran api yang cukup besar mengingat 2016 merupakan tahun api dan Indonesia memiliki tiga unsur api dalam elemen kelahirannya pada 17 Agustus 1945 lalu.
Namun jika gejolak nilai tukar rupiah di pertengahan tahun yang ditengarai akibat kebijakan bank sentral Amerika menaikkan suku bunga bisa diredam pemerintah, Suhu Tan meramalkan ekonomi Indonesia akan berubah menjadi sangat kondusif.
“Jadi tahun ini, ekonomi Indonesia akan prima di awal tahun kemudian akan terpuruk pada Mei-Juli, lalu dari Agustus 2016 sampai Januari 2017 sangat kondusif. Kemungkinan kurs rupiah juga akan kembali menguat,” jelasnya.
Bersaing dengan TetanggaSementara Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyoroti ketidakmampuan pemerintah dalam memanfaatkan kesempatan bekerjasama dengan konsorsium negara-negara besar dunia untuk mengoptimalkan penjualan hasil produksi industri ke luar negeri. Kondisi tersebut menurut Faisal akan merugikan Indonesia dari sisi kinerja ekspor sampai mempersempit pintu untuk memasukkan investasi asing.
“Persaingan dengan negara-negara tetangga bakal semakin berat karena Vietnam dan Malaysia sudah masuk Trans-Pacific Partnership (TPP). Mereka bisa menggunakan jalan bebas hambatan memasuki pasar Amerika, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru,” kata Faisal.
Bahkan, Vietnam disebutnya telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada Juli 2015. Oleh karena itu, Faisal mengatakan Vietnam memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi investor asing untuk membangun pabrik atau industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
“Sebaliknya, investor yang masuk ke Indonesia kebanyakan berorientasi pasar dalam negeri sehingga tidak banyak meningkatkan kapasitas ekspor,” jelas Faisal dalam blog pribadinya.
(gen)