Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) harus merelakan penerimaan cukai menguap Rp2 triliun akibat larangan minimarket dan toko pengecer berjualan minuman beralkohol sejak 16 April 2015 lalu.
Sebelumnya larangan tersebut dibuat oleh mantan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang meneken Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi meyakini kebijakan tersebut turut memberi pengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea dan cukai selama tahun lalu. Heru mencatat dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sebesar Rp195 triliun, DJBC hanya mampu mencapai target 92,5 persen atau Rp180,4 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Betul 2015 memang tidak mencapai 100 persen. Tetapi kalau dilihat faktor yang memengaruhi, ada batasan peredaran bir di minimarket yang nyatanya telah mengurangi potensi penerimaan. Kami kehilangan cukai bir di minimarket sebesar Rp2 triliun," jelas Heru di kantornya, Jumat (8/1).
Kendati kebijakan tersebut mempersulit DJBC memenuhi target penerimaan, namun ia mengaku akan terus mendukung kebijakan tersebut.
"Kami tetap mendukung kebijakan pembatasan peredaran bir di minimarket. Jadi jangan dianggap kami tidak setuju dengan kebijakan itu. Karena ini hanya soal revenue saja," jelasnya.
Sebab Heru mencatat selain penerimaan cukai minuman beralkohol yang berkurang, instansinya masih bisa mengantongi lebih banyak penerimaan dari objek cukai lain sepanjang tahun lalu.
Selama lima tahun terakhir menurutnya rata-rata realisasi penerimaan DJBC naik sebesar 8,3 persen per tahun.
“2015 lalu penerimaan DJBC meningkat 10,9 persen dibandingkan 2014. Ini merupakan hasil yang positif," ucap Heru.
Andalkan Cukai RokokIa menilai salah satu pos penerimaan yang menopang pertumbuhan tersebut adalah cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok. CHT disebut Heru memberi sumbangan kepada negara sebesar Rp139,5 triliun atau berkontribusi 96,4 persen terhadap penerimaan cukai sepanjang 2015 sebesar Rp144,6 triliun.
Sementara, faktor yang menghambat DJBC bisa memberikan setoran lebih besar kepada negara menurutnya disebabkan oleh perlambatan ekonomi global. Akibatnya, terjadi penurunan devisa impor sebesar 22,8 persen. Sehingga penerimaan bea masuk tercatat turun 3 persen atau Rp1 triliun dibandingkan tahun lalu.
"Tingkat penurunan penerimaan bea masuk yang jauh lebih rendah dibandingkan penurunan devisa impor dikarenakan adanya peningkatan upaya optimalisasi pemungutan bea masuk melalui kegiatan intensifikasi pembeaan," kata Heru.
Selain bea masuk, penerimaan bea keluar juga menjadi faktor yang memengaruhi penerimaan DJBC selama 2015. Ia menuturkan bea keluar paling banyak disumbangkan dari ekspor mineral, yang pada akhir tahun juga mengalami penurunan seiring penurunan tarif akibat meningkatnya penyelesaian pembangunan smelter.
"Kondisi di atas mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan bea keluar sebesar Rp8,1 triliun," ujarnya.
(gen)