Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menyebut 83 persen dari sekitar 2.400 korporasi atau sebanyak 1.992 perusahaan telah memenuhi kewajiban lindung nilai (hedging) untuk utang valuta asing (valas) yang jatuh tempo maksimal 6 bulan ke depan.
Gubernur BI Agus Martowadojo mengatakan pihaknya dan para pelaku usaha saat ini tengah benar-benar memperhatikan pergerakan nilai tukar dan mewaspadai adanya era super dollar. Hal ini dinilai bakal berimbas variatif bagi dunia usaha.
“Saya dan pelaku usaha betul-betul memperhatikan super dollar yang mungkin bisa terjadi tiga tahun ke depan ini. Periode super dollar ini karena Fed Fund Rate (suku bunga AS) akan kembali naik walaupun dilakukan secara gradual (bertahap),” ujarnya di hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (27/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, ketika ekonomi Negeri Paman Sam menguat, maka pelaku pasar mulai waspada adanya era super dollar tersebut. Agus mencontohkan, saat consumer confident AS membaik, hal itu membuat semua pelaku pasar melihat dolar AS akan menguat.
“Jadi, kita di Indonesia dan negara-negara berkembang harus waspada karena ada periode super dollar, yaitu mata uang dollar yg cenderung menguat. Dan ini didukung naiknya Fed Fund Rate,” jelasnya.
Alasannya, kata Agus, menguatnya dolar AS terhadap semua mata uang utama dunia bakal turut menarik dana portofolio ke Negeri Adidaya tersebut. Hal itu bisa membuat pasar saham dan keuangan dunia berfluktuasi.
“Hal itu membuat negara-negara di dunia khawatir akan ada rebalancing portofolio. Misalnya terdapat dana di Indonesia, akan dikeluarkan dan kembali ke AS,” ucapnya.
Agus menambahkan, yang juga perlu diwaspadai adalah korporasi-korporasi di Indonesia yg punya pinjaman dalam valas. Masalahnya, penguatan dolar AS tentu memiliki risiko bahwa utang akan menjadi lebih mahal atau terdapat kemungkinan jatuh tempo pinjaman yang tidak diperpanjang.
“Nah, hal-hal ini perlu kita waspadai untuk antisipasi periode super dollar. Tapi saya selalu melakukan kajian terhadap kepatuhan dari perusahaan-perusahaan swasta terkait peraturan BI tentang kewajiban hedging,” ungkapnya.
Kepatuhan PerusahaanAgus menyatakan, ia sudah memantau kepatuhan para perusahaan yang memiliki kewajiban utang valas dengan tempo antara 0-6 bulan. Menurutnya, sebagian besar perusahaan sudah memiliki kepatuhan yang baik.
“Terkait kewajiban yang perlu dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai jatuh tempo 0-6 bulan ke depan, mereka sudah didukung posisi hedging yang baik dan likuiditas yang juga cukup baik,” katanya.
“Sekarang ini, dari total 2.400 korporasi yang sudah menyampaikaan laporan, 83 persen sudah melakukan hedging minimum seperti yang disyaratkan Bank Indonesia. Dan itu menunjukkan bahwa dari posisi 0-6 bulan, mereka telah memnuhi kewajiban minimum hedging,” jelas Agus.
Untuk diketahui aturan hedging tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/21/PBI/2014 Tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Non-bank dan Surat Edaran Ekstern No.16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Non-bank.
Dalam PBI tersebut turut diatur penyesuaian terhadap cakupan komponen aset dan kewajiban valas, ketentuan terkait pemenuhan kewajiban lindung nilai (hedging) serta terkait pemenuhan kewajiban peringkat utang.
Salah satu poin dalam aturan tersebut adalah penetapan batas minimum (threshold) selisih negatif Kewajiban Valas dan Aset Valas. Ditetapkan sebesar ekuivalen US$ 100 ribu. Bila selisih negatif lebih kecil dari threshold maka korporasi tidak wajib memenuhi Rasio Lindung Nilai minimum.
(gir/gir)