Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah akan merivisi turun asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari US$50 per barel menjadi sekitar US$30 per barel dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Hal ini sejalan dengan penurunan harga minyak mentah global yang berisiko menggerus penerimaan negara.
"(ICP) direvisi ke sekitar US$30- US$40," ujar Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro di kantornya, Rabu (27/1).
Selain harga minyak, dalam APBN 2016 pemerintah juga menggunakan acuan tingkat produksi (lifting) minyak 830 ribu barel per hari sebagai dasar perhitungan potensi penerimaan dan belanja negara.
Berkaca pada kedua asumsi tersebut, Menkeu menyadari kejatuhan harga minyak mentah dunia bakal berimbas pada penurunan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas, baik pajak maupun non pajak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasti akan turun, namun turunnya berapa kami masih menghitung," jelas Bambang.
Dalam
Nota Keuangan dan APBN 2016 disebutkan, setiap kenaikan US$1 harga minyak di atas asumsi US$50 per barel berpotensi menambah pendapatan negara Rp3,4 triliun hingga Rp3,9 triliun. Hal itu juga diyakini akan diikuti dengan membengkaknya anggaran belanja sekitar Rp2,6 triliun hingga Rp3,8 triliun. Alhasil defisit APBN 2016 berisiko membengkak sekitar Rp100 miliar hingga Rp900 miliar
Kondisi tersebut bisa sebaliknya mengingat saat ini harga ICP terjun bebas mengikuti pergerakan turun harga minyak mentah dunia. Dengan asumsi ICP US$ 50 per barel, maka rata-rata ICP Januari 2016 sebenarnya sudah lebih rendah US$12-US17 per barel.
Berikut rincian sensitivitas APBN 2016 jika ICP US$1 lebih tinggi dari asumsi US$50 per barel:
Pendapatan Negara naik Rp3,4-3,9 triliun- Penerimaan perpajakan naik Rp800 miliar
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) naik Rp2,7-3,1 triliun.
Belanja Negara bengkak Rp2,6-3,8 triliun- Belanja pemerintha pusat Rp1,8-2,6 triliun
-Transfer ke daerah dan Dana Desa Rp700 miliar hingga Rp1,2 triliun.
Defisit Fiskal melebar Rp100-900 miliar.
(ags)