Menkeu: Risiko Fiskal Bergeser dari Subsidi BBM ke Penerimaan

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Rabu, 02 Mar 2016 09:09 WIB
Kecukupan APBN saat ini sangat bergantung dari kemampuan pemerintah mengamankan penerimaan pajak, bukan lagi terkait subsidi BBM yang bengkak.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro saat menerima tim CNNIndonesia.com di rumah dinasnya, Minggu (6/12). (CNN Indonesia/Gentur Putro Jati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengungkapkan realisasi penerimaan pajak menjadi satu-satunya risiko fiskal yang harus dihadapi pemerintah saat ini. Kondisi saat ini berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana risiko fiskal justru berasal dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang membengkak.

Di masa pemerintahan sebelumnya, kata Bambang, pemerintah memiliki sejumlah alasan terjadinya defisit anggaran dan merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah akibat subsidi BBM yang berlebihan. Meskipun pada saat yang sama, ada target penerimaan pajak yang tidak tercapai.

“Kalau di masa lalu kita masih punya excuse. Kalau subsidi BBM berlebih, akhirnya itu jadi fokus pemerintah dengan DPR, dibanding penerimaan pajaknya," kata Bambang saat melantik Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun kondisi tersebut telah berubah. Setelah akhirnya pemerintah mencabut anggaran subsidi BBM pada 2014 lalu. Otomatis kini risiko tersebut berasal dari sisi pengeluaran pemerintah.

Jika bercermin dari realisasi penerimaan tahun lalu, pajak hanya mampu menyumbang 70 persen ke penerimaan negara, sementara instansi lainnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya mampu menyumbang 15 persen.

"Tentunya ini adalah beban yang sangat berat. Karena tanpa ada penerimaan maka tidak akan ada belanja. Tanpa penerimaan yang besar, tidak akan ada belanja yang ekspansif. Tidak ada anggaran ekspansif yang nantinya diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Bambang.

Oleh sebab itu, ia meminta para fiskus untuk bekerja keras mengamankan anggaran agar bisa berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Ia juga menekankan perlunya peningkatan tax ratio di Indonesia yang saat ini masih 11 persen.

Tax ratio Indonesia dianggap masih lebih rendah dibandingkan negara-negara Asean lainnya dan negara-negara yang tergabung dalam OECD.

"Jadi yang ingin saya tekankan, memang bapak ibu dituntut bekerja keras, bagaimanapun tax ratio 11 persen untuk negara seperti Indonesia ini sangat di bawah standar. Jadi kita masih perlu mengupayakan dalam beberapa tahun ke depan, tax ratio itu harus naik 2-3 persen dari angka yang sekarang. Menuju 13-14 persen," katanya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER