Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan jumlah cadangan batu bara terbukti Indonesia sampai dengan 2015 hanya mencapai 7,3 sampai 8,3 miliar ton, atau di bawah proyeksi cadangan versi pemerintah yang ditaksir mencapai 32,3 miliar ton.
Ketua Umum APBI Pandu Syahrir mengatakan besarnya
gap mengenai angka cadangan batu bara versi APBI dan pemerintah disebabkan oleh berkurangnya kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan, menyusul kejatuhan harga batu baru dunia dalam beberapa waktu terakhir.
"Yang namanya penurunan cadangan bukan berarti cadangannya enggak ada. Tetap saja di perut bumi ada barangnya. Masalahnya itu (eksplorasi) ekonomis atau tidak untuk ditambang karena kan untuk menambang diperlukan biaya. Kalau harga US$50 (per ton), biaya nambang US$60, otomatis batu bara itu tidak ditambang," ujar Pandu di Jakarta, Senin (7/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandu menambahkan, seiring dengan menurunannya harga batu bara yang berdampak pada ketatnya posisi keuangan dan kegiatan eksplorasi perseroan akan berdampak pada keberlangsungan megaproyek 35 ribu Megawatt (MW).
Sebab, dengan rendahnya nilai kekonomian harga batu bara maka pasokan komoditas 'emas hitam' tersebut untuk mendukung megaproyek 35 ribu MW akan berkurang.
"Sekarang cadangan yang ekonomis hanya cukup untuk 15-16 tahun ke depan karena sebagian besar tidak ekonomis. Nah untuk menaikkan itu bagaimana, itu yang harus didiskusikan bersama," imbuh Pandu.
Minta JaminanPada kesempatan yang sama, President Director Advisory Price Waterhouse Cooper Mirza Diran menilai sudah seyogya dengan keberadaan dua fenomena tadi pemerintah segera mengambil langkah strategis guna menyelematkan megaproyek 35 ribu MW dan perusahaan batu bara.
Di mana satu langkah yang harus diambil adalah merumuskan kebijakan
cost base pricing system untuk harga batu bara yang digunakan dalam program ketenagalistrikan.
Dengan demikian, maka pemerintah akan memperoleh suatu jaminan kepastian untuk menghindari krisis pasokan batubara untuk PLTU serta memproteksi kenaikan harga listrik jika terjadi kenaikan batu bara.
Di samping kebijakan ini juga dinilai akan mestimulasi kegiatan investasi dan eksplorasi hingga pada memantapkan perencanaan kegiatan pertambangan batu bara.
"Menurut analisa Kami, efek dari kebijakan tersebut adalah pemerintah akan membayar semacam "biaya asuransi" sekitar 1 persen dari tarif dasar listrik yang kurang lebih Rp1.400 per KwH jika diterapkan untuk PLTU yang baru akan berproduksi 2019. Sementara untuk PLTU yang dibangun di tahun sebelumnya ada di angka 3 persen," cetus Mirza.