Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) dinilai hanya akan menimbulkan kontroversi baru di masyarakat.
Pasalnya selain akan mematikan pedagang rokok kecil, bakal aturan tersebut juga dinilai diskriminatif mengingat belum semua pengelola fasilitas umum menyediakan tempat Khusus Merokok (TKM) sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi.
Bonhar Darma Putra, Ketua Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Bidang Rokok, Tembakau dan Minuman menilai aturan itu tidak mempedulikan dan hanya akan mematikan masyarakat kecil seperti pengasong, warung kecil dan usaha sejenis yang berkaitan dengan usaha dan kegiatan rokok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Bonhar jika aturan itu disahkan, maka besar kemungkinan PPMI-SRTM akan lakukan aksi demo ke DPRD DKI dan kantor Gubernur DKI Jakarta untuk menolak aturan itu.
"DPRD DKI ini kurang kerjaan. Kami sudah menyampaikan surat protes dan penolakan Raperda yang ditembuskan ke Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Sosial,” ujar Bonhar, Senin (21/3).
Ia berharap pemerintah pusat bisa melakukan intervensi dengan membatalkan pengesahan aturan tersebut karena hanya akan menghambat kinerja industri hasil tembakau (IHT) secara umum di tengah perlambatan ekonomi.
Bonhar mengusulkan Raperda KTR untuk tidak bersifat diskriminatif dengan hanya mengakomodir kepentingan masyarakat yang tidak merokok, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
"Kenyamanan Jakarta sebagai ibukota Negara tidak bisa diserahkan hanya kepada pemerintahan setempat, tetapi peran serta masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama," tegasnya.
Oleh karena itu, DPP PPMI SRTM merekomendasikan agar pemberlakuan KTR di wilayah Jakarta harus dibarengi denga tersedianya Tempat Khusus Merokok.
"Jika tidak diakomodir seluruh lapisan masyarakat yang hidup di Jakarta terjadi diskriminasi terhadap masyarakat perokok sehingga mematikan usaha para pedagang kecil," tegasnya.
Sebelumnya Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk lebih fokus mengendalikan asap kendaraan bermotor di Provinsi yang dipimpinnya, dibanding memulai pembahasan Raperda KTR yang diusulkan DPRD.
Enny menilai setiap kebijakan yang dirancang pemerintah, sudah seharusnya tidak memojokkan kelompok tertentu. Menurut dia, harus selalu ada keseimbangan keadilan regulasi.
Pasalnya, instrumen pengendalian untuk rokok saat ini sudah begitu banyak sehingga tidak perlu ditambah lagi.
"Prinsipnya kan hanya mengendalikan, Undang-Undang (UU) sendiri tidak ada kata melarang rokok. Makanya ada instrumen cukai, kalau mau dilarang itu seharusnya minuman keras," tegas Enny, pekan lalu.
Ia mengaku heran, minuman keras yang notabene lebih berbahaya dari tembakau justru selama ini tidak pernah ada protes berlebihan dari aktivis kesehatan, sebagaimana terjadi pada industri tembakau.
Enny mengingatkan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan atas uji materi Pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, dengan tegas memerintahkan agar setiap pengelola ruang publik menyediakan tempat khusus merokok di tempat kerja, tempat umum, instansi pemerintah
Untuk itu, ia berharap DPRD DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi seharusnya lebih memperhatikan aspek polusi dari kendaraan bermotor yang masih bermasalah di Jakarta. Sekaligus tidak terlalu jauh mengatur para perokok.
(gen)