Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengkhawatirkan ambisi pemerintah dan otoritas keuangan yang ingin menekan tingkat suku bunga pinjaman (
lending rate) rendah menjadi
single digit akan menurunkan produktivitas perbankan dalam menyalurkan kredit.
Chatib mengatakan hal itu mungkin disebabkan oleh potensi risiko kredit yang harus ditanggung oleh perbankan. Dengan tingkat imbal hasil yang rendah, biasanya perbankan enggan agresif dalam menyalurkan kreditnya.
Ia menilai hal tersebut bertentangan dengan ide awal pemerintah yang ingin meningkatkan kredit untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena kalau bunganya rendah, bank hanya berani meminjamkan ke sektor yang risikonya rendah. Akibatnya bunga yang rendah itu dia kasih ke nasabahnya yang sudah lama, tapi nasabah baru yang bank belum kenal, akan sulit diberikan pinjaman, padahal idenya supaya pinjaman kreditnya bisa bertambah," ujar Chatib saat ditemui usai acara BI-ADB Joint Workshop di kantor Bank Indonesia pusat, Jakarta, Rabu (23/3).
Menurutnya, proses penurunan
lending rate harus dilakukan secara bertahap melalui mekanisme pasar dan jangan terkesan dipaksakan, terlebih sampai menggunakan aturan yang baku.
"Jadi BI menjaga inflasi yang sudah lebih rendah, terkendali. Maka perbankan juga
cut rate. Biarkan saja prosesnya melalui pasar. Jika makronya stabil, nanti bunganya juga turun. Sabar saja," kata Chatib.
Di sisi lain, Visiting Fellow University San Diego California itu mengapresiasi langkah BI yang telah menurunkan suku bunga acuan (BI rate) sebanyak tiga kali sepanjang tahun ini. Menurutnya langkah tersebut turut mengoptimalkan tren suku bunga negatif di sejumlah negara seperti Jepang dan Uni Eropa.
Namun, ia menyatakan penurunan tersebut juga diharapkan mampu mengontrol derasnya aliran dana asing yang masuk ke Indonesia akibat kebijakan suku bunga negatif di sejumlah negara. Hal ini juga menghindari adanya potensi pembalikan modal yang terlalu besar.
"Kalau BI tingkat bunganya terlalu tinggi, akibatnya inflownya terlalu banyak. Yang terjadi adalah uang panas (
hot money), BI antisipasinya dengan kebijakan kurangin tingkat bunganya secara perlahan,” katanya.
“Proses ini akan terjadi. Jadi tidak perlu kemudian dilakukan lewat regulasi, lewat mekanisme stabilitas makro juga akan jalan.," imbuh Chatib.
(gir)