Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menilai pasar keuangan telah menangkap sinyal bahwa depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak akan ditahan oleh Bank Indonesia (BI). Hal tersebut dilihat dari adanya kebijakan penurunan tingkat suku bunga acuan BI (BI
rate) sebesar 25 basis poin ke level 7,5 persen pada Selasa (17/2) lalu.
"Dengan BI menurunkan tingkat suku bunga acuan 25 basis poin beberapa waktu lalu, pasar telah menangkap sinyal bahwa (depresiasi) rupiah tidak akan di-
defend oleh BI," ujar Chatib kepada CNN Indonesia Senin (2/3).
Sebelumnya, BI menyatakan depresiasi rupiah saat ini yang hampir menembus Rp 13 ribu per dolar masih dalam tahap wajar mengingat sebagian besar mata uang negara di dunia juga mengalami pelemahan terhadap dolar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, depresiasi yang terjadi saat ini juga sejalan dengan upaya menjaga dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (
current account deficit/CAD). Sebagai konsekuensinya, intervensi langsung BI untuk menahan laju depresiasi rupiah belum diperlukan.
"Tidak ada yang salah dengan pilihan itu. Yang penting itu nanti pemerintah jangan bingung kok rupiah melemah," kata Chatib menanggapi pilihan kebijakan BI tersebut.
Dua PenyebabDosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini mengungkapkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar disebabkan oleh dua faktor utama, faktor eksternal dan faktor internal. Di sisi ekternal, saat ini tengah terjadi ketidakpastian di perekonomian global mengakibatkan pasar cenderung reaktif dalam menanggap risiko.
Selain itu, kondisi perekonomian AS membaik diiringi dengan melemahnya sebagian besar mata uang negara-negara di dunia, termasuk rupiah, terhadap dolar AS.
"Beberapa negara bahkan melakukan
competitive devaluation (negara sengaja sengaja melemahkan nilai tukarnya) untuk meningkatkan ekspor negaranya," tambahnya.
Dari sisi internal, adanya penurunan tingkat suku bunga acuan BI rate memiliki konsekuensi pada melemahnya nilai tukar rupiah. Turunnya BI rate mengadung risiko larinya dana asing dari Indonesia dan membuat pihak asing kurang tertarik menyimpan dananya di Indonesia karena imbal hasilnya dinilai menurun.
"Bunga rendah, nilai tukar melemah. Itu konsekuensi," kata Chatib.
Kendati demikian, kondisi tersebut diyakini Chatib dapat mendorong ekspor yang tertekan oleh penurunan harga komoditas serta menurunkan impor.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan Indonesia pada 2014 masih mencatatkan defisit sebesar US$ 1,89 miliar yang berasal dari nilai ekspor nasional sebesar US$ 176,29 miliar, lebih rendah dari nilai impor yang mencapai US$ 178,18 miliar.
(gen)