Jakarta, CNN Indonesia -- Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta menilai sebaiknya perusahaan jasa layanan transportasi online bekerjasama dengan perusahaan operator transportasi yang sudah terdaftar dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda) agar bisa sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Kepala Dishub DKI Jakarta Andri Ansyah mengatakan sudah terlalu banyak perdebatan yang hingga saat ini tidak mencapai kata sepakat. Menurut Andri, solusi mudah bagi perusahaan transportasi online adalah bekerja sama dengan operator angkutan umum.
“Kalau saya, ini kita terlalu banya debat. Sebenarnya UU (Undang-Undang) itu ada. Kenapa tidak ditanyakan ke Uber dan Grab? Kenapa mereka tidak bekerja sama dengan operator?,” ujarnya dalam acara Lunch at Newsroom di
CNNIndonesia.com, Selasa (12/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kerjasama tersebut seharusnya bersifat wajib, perusahaan operator sudah diatur dalam UU angkutan umum. Penyedia aplikasi tersebut dinilai telah melanggar pasal 138 ayat (3) UU no. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan angkutan umum dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Tak hanya itu, layanan GrabCar dan Uber juga dinilai melakukan pelanggaran pasal 139 ayat (4) UU no. 22 tahun 2009 mengenai penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Harus kerjasama donk. Kalau tidak ada keharusan, bisa berantakan semua. Operator sudah bayar pajak, punya KIR,” jelasnya.
Sementara itu, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyatakan masyarakat seharusnya memahami jika penggunaan jasa layanan transportasi berbasis aplikasi online merupakan private contract yang segala risikonya tidak diatur dalam perundangan negara.
Ketua MTI Danang Parikesit mengatakan karena hingga saat ini belum ada kejelasan terkait regulasi operasional transportasi online, maka transaksi yang berlaku termasuk
private contract. Hal itu berbeda jika operasional sudah diatur dalam undang-undang, maka menjadi
public contract.
“Gampangnya kalau menikah harus didaftarkan di KUA (Kantor Urusan Agama) agar jelas dan diakui negara. Maka wanprestasi dalam
private contract sama dengan tidak menikah di KUA,” katanya dalam acara yang sama.
Menurutnya, yang tidak didefinisikan dalam undang-undang (UU) memang tidak diatur. Dalam hal ini, kata Danang, hal yang membedakan tranportasi online dengan angkutan umum yang terdaftar dalam Organisasi Angkatan Darat (Organda) adalah persoalan diatur dan tidak diatur.
“Saya tidak bilang
legal versus illegal, tapi
regulated dan
unregulated. Ini masalah
private contract dengan
public contract,” katanya.
(gir)