Petani Bawang Brebes Menanti Program Sinergi Racikan Jokowi

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Senin, 18 Apr 2016 18:10 WIB
Dengan harga jual tidak menentu, petani merugi karena biaya produksi yang ditanggung untuk menanam bawang jauh melampaui pendapatan dari hasil panen.
Dengan harga jual tidak menentu, petani merugi karena biaya produksi yang ditanggung untuk menanam bawang jauh melampaui pendapatan dari hasil panen. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah).
Brebes, CNN Indonesia -- Lonjakan harga bawang merah yang mencekik leher membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) terjun ke lapangan untuk mengecek sentra produksi bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Sejak awal Februari lalu, harga bawang merah di pasar melonjak tajam dari angka Rp30 ribu per kilogram hingga kini menembus kisaran Rp50 ribu per kilogram. Tidak hanya konsumen yang menjerit , petani pun dibuat kelabakan.

Dengan harga jual tidak menentu, petani terus merugi karena biaya produksi yang mereka tanggung untuk menanam bawang jauh melampaui pendapatan dari hasil panen. Belum lagi persooalan hama yang semakin sulit dibasmi sehingga membuat petani terus merugi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Turinah (37) petani bawang di Desa Luwunggede, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, baru saja selesai mengecek kondisi bawang di sawah saat rombongan Presiden Joko Widodo tiba di lokasi. Lekas-lekas perempuan itu, masih menggunakan caping dan handuk di lehernya, berlari ke arah Jokowi.

Saat itu, Jokowi sudah duduk di tengah-tengah para petani lainnya. Mereka tampak bercakap-cakap dengan serius. Kepada seorang petani, Jokowi bertanya mengenai persoalan yang dihadapi petani di lapangan. Petani tersebut menunjukkan beberapa siung bawang merah. Ada beberapa ulat di dalam bawang tersebut.

Persoalan hama ulat ini juga memusingkan Turinah yang ditemui CNNIndonesia.com di lokasi kunjungan Jokowi. Turinah mengakui kerepotan membasmi hama dan ia harus mengeluarkan banyak biaya untuk pestisida.

"Kalau ada ulatnya, bisa cepat busuk dan tanaman cepat mati," katanya pada akhir Maret lalu.

Tanpa menyebut berapa jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pestisida, Turinah mengatakan ia semakin merugi karena harga jual bawang merah tidak stabil. Harga bawang bisa naik turun dalam hitungan hari. Menurut Turinah, jika harga sedang bagus, petani bisa dibayar Rp35 ribu per kilogram oleh pengepul.

Namun seringkali harga bawang justru anjlok. Pengepul hanya membeli dengan harga Rp5 ribu per kilogram ke petani dengan alasan stok mereka masih menumpuk.

"Rugi saya, obate larang bawange murah (rugi saya, obatnya mahal, harga bawangnya murah)," ujarnya.

Persoalan serupa juga disampaikan Sunali (70) yang menanam bawang di Desa Luwungragi, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Sunali mengaku, pada periode tanam ini ia hanya bisa mendapatkan pemasukan maksimal Rp15 juta per hektare.

Padahal untuk lahan seluas itu, kebutuhan pupuk dan obat-obatan menghabiskan biaya sekitar Rp20 juta. Hanya dari kebutuhan pupuk dan obat saja sudah ketahuan berapa kerugian yang ditanggung Sunali. Belum lagi ia masih mengeluarkan biaya untuk membeli benih yang mencapai Rp10 juta per hektare lahan.

Harga benih juga sering naik-turun hingga menyulitkan petani untuk mengalkulasi berapa harga bawang yang pantas sehingga mereka tidak mengalami kerugian. Jenis bawang merah yang dikembangkan di Brebes adalah varietas Bima Brebes (90 persen), Sumenep dan varietas lokal lainnya.

“Yah, pinginnya Pak Jokowi bisa membantu supaya harga jual bawang tidak naik turun,” ujarnya. Brebes merupakan daerah penting dalam peta perdagangan bawang merah di Indonesia. Total produksi bawang yang dihasilkan kabupaten itu pada 2015 misalnya sebesar 311.296 ton.

Larangan dan Bulakamba merupakan dua dari 17 kecamatan penghasil bawang terbanyak di Brebes. “Jumlah produksi bawang Brebes menyumbang sekitar 30 persen dari total produksi bawang nasional,” kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Direktorat Jenderal Holtikultura Kementerian Pertanian, Yanuardi.

Pelaku usaha agribisnis di Brebes juga menguasai hampir 50 persen perdagangan bawang merah nasional. Ini menggambarkan jika terjadi hambatan dalam proses produksi dan distribusi bawang di Brebes akan ikut mendongkrak laju inflasi daerah maupun nasional.

Berbagai solusi ditawarkan Jokowi untuk peluncuran program Aksi Sinergis untuk Ekonomi Rakyat. Aksi ini menjadikan Brebes sebagai daerah percontohan di seluruh Indonesia untuk memantau harga bawang, dalam rangka menekan laju inflasi di daerah. Jokowi juga berencana menjadikan Brebes sebagai gudang produksi (cold storage) bawang nasional. Selain itu, petani juga akan diberi kemudahan mendapat sertifikat tanah agar bisa berhutanh ke bank.

Menurut M. Fadlil Kirom dari Yayasan Jateng Berdikari, lembaga yang mendampingin petani bawang di Jawa Tengah, kebijakan pemerintah terhadap petani bawang secara umum belum komprehensif. Solusi presiden belum bisa menjawab persoalan dasar petani.

“Jika ada harga tinggi, hanya dinikmati para pedagang besar. Petani belum mendapatkan harga yang layak saat panen tiba,” ujarnya ketika dihubungi melalui telepon.

Ia menilai persoalan utama petani bawang adalah pada ketidakmampuan petani untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Petani bawang perlu diberi pengetahuan tentang proses produksi hingga kemampuan pemasaran. Sudah saatnya, petani bisa membuat benih, pupuk dan obat anti hama secara mandiri tanpa bergantung pada pabrik besar.

“Untuk itu petani butuh dilatih dan diberi kemudahan dalam mengakses modal agar mereka tidak terjebak oleh rentenir,” kata Fadlil.

Tugas lain pemerintah adalah membantu penataan distribusi bawang merah. Petani bawang, seperti petani di Indonesia pada umumnya, tidak memiliki kemampuan untuk mengakses langsung ke konsumen. Distribusi hasil produksi mereka masih sangat bergantung kepada pedagang besar yang menguasai akses-akses ke pasar di perkotaan.

“Yang lebih penting harus bisa memastikan agar para spekulan tidak memainkan harga,” ujarnya.

Sementara itu, Achmad Yakub selaku pegiat di Bina Desa dan anggota Dewan Ketahanan Pangan mengatakan alih-alih fokus terhadap gudang produksi, pemerintah sebenarnya bisa membantu petani untuk memutus rantai utang ke rentenir. Petani bawang sekarang ini sudah banyak kehilangan lahan karena belitan hutang ke rentenir untuk membeli benih, pupuk, dan obat hama. Petani yang dulunya memiliki lahan, kini harus menyewa lahan agar mereka bisa kembali menanam bawang.

“Perlu terobosan agar petani punya akses ke bank. Semuanya mesti dipermudah. Kalau rentenir saja bisa masuk keluar hingga ke RT/RW, mengapa bank-bank milik pemerintah tidak bisa seperti itu?” ujarnya.

Persoalan yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah penggunaan pestisida yang intensif di kalangan petani bawang. Hal ini sudah terjadi begitu lama namun belum ada solusinya.

Berulang kali pemerintah berencana mengurangi pengurangan pestisida di kalangan para petani agar tanah tidak rusak, hama tidak menjadi kebal dan bawang aman dikonsumsi.

“Kita akan minta petani mengubah cara pengendalian hama. Kita ingin kembali ke alam dan ingin petani kembali memakai organik untuk mengendalikan hama,” kata Yanuardi.

Program pemerintah yang terus diulang-ulang namun entah kapan bisa terlaksana. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER