Jakarta, CNN Indonesia -- Rasio utang industri keuangan, bank dan non bank, diperkirakan masih akan terus terkerek seiring dengan kebutuhan pendanaan sektor ini dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan. Upaya untuk mendongkrak likuiditas perusahaan itu bakal berasal dari skema penerbitan surat berharga (obligasi) dan pinjaman, baik dalam bentuk rupiah maupun valuta asing.
David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk menilai, strategi untuk mendongkrak likuiditas lewat pinjaman luar negeri, terutama bagi bank, lebih menarik dibandingkan Dana Pihak Ketiga (DPK).
"Dua tahun terakhir likuiditas dalam negeri memang terlampau ketat. Mereka tertarik melakukan pinjaman dolar karena bunga lebih murah. Walaupun, ada risiko kurs," ujar David saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa (10/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, David menuturkan, tahun ini, perbankan akan mengandalkan sumber pendanaan dari penerbitan obligasi, termasuk juga pinjaman bilateral. Apabila Indonesia mendapatkan cap rating investment grade dari lembaga pemeringkat internasional, label tersebut membuat obligasi terbitan Indonesia menjadi lebih menarik.
"Trennya, masih ada pinjaman dari luar negeri. Ada juga institusi keuangan yang akan menerbitkan obligasi," terang dia.
Kendati demikian, menurut David, peningkatan rasio utang adalah hal wajar apabila dapat mendongrak sektor produktif dan berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Ia menyarankan, penerbitan obligasi dan pinjaman disertai dengan penyaluran kredit atau pembiayaan produktif.
"Permintaan pinjaman untuk infrastruktur dan manufaktur itu masih ada. Tinggal sekarang ini, risk appetite dari lembaga keuangan untuk berani mengucurkan kredit/pembiayaan ke sana," pungkasnya.