Kejar Setoran Pajak, Menkeu Optimalkan Denda Tunggakan PBB

CNN Indonesia
Kamis, 19 Mei 2016 14:48 WIB
Sejak Undang-Undang PBB diterbitkan pada 1985, otoritas Pajak belum melaksanakan ketentuan sanksi administrasi 2 persen per bulan kepada para penunggak PBB.
Menkeu Bambang Brodjonegoro (kanan) didampingi Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi (kiri) memberikan keterangan pers usai mengikuti rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/4). (Antara Foto/Widodo S. Jusuf).
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang P.S. Brodjonegoro mempertegas sanksi denda bagi wajib pajak yang menunggak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yakni 2 persen per bulan dari total tunggakan.

Penegasan Menkeu tersebut sekaligus instruksi bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mulai melakukan penegakan hukum kepada para pengunggak PBB, yang sejak 1985 tidak pernah dikenakan sanksi administrasi keterlambatan bayar. Tujuan akhirnya, tidak lain untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak bumi dan Bangunan, yang terbit dan diundangkan pada 13 Mei 2016.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam beleid, Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas wajib pajak yang kurang atau telat bayar PBB setelah tanggal jatuh tempo pembayarannya.

STP PBB, kata Bambang, tak hanya memuat PBB terutang tetapi juga ditambah dengan denda administrasi sebesar 2 persen per bulan dari tunggakan PBB.  Denda administrasi tersebut dihitung dari saat jatuh tempo sampai tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

Direktur Pelayanan dan Penyuluhan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP Mekar Satria Utama menjelaskan PMK Nomor 78/PMK.05/2016 hanya mengatur penagihan PBB sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Menurutnya ada tiga hal yang mendasari terbitnya PMK ini. Pertama, untuk memberikan kepastian hukum bagi para fiskus di lapangan mengingat selama ini belum ada payung hukum yang kuat untuk melakukan penagihan PBB.  

Selama ini, kata Satria, proses penagihan PBB hanya mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 503/PJ/2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan dan Tata Cara pelaksanaan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

"Kedua, dalam Perdirjen 503/PJ/2000 masih ada unsur PBB-P2 (Perdesaan dan Perkotaan) yang sejak 2013 sudah dialihkan ke pemerintah daerah. Sementara saat ini yang dipungut DJP hanya PBB kehutanan, pertambangan dan perkebunan," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/5).

Ketiga, lanjut Satria, selama ini mekanisme penagihan PBB belum pernah diatur secara khusus oleh pemerintah meskipun undang-udnangnya sudah diterbitkan sejak 1985 (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985). Dia mencontohkan mengenai sanksi telat bayar PBB sebesar 2 persen dari total tunggakan yang sampai saat ini belum dijalankan dengan optimal oleh DJP.

"Mengenai sanksi (administrasi) memang sebelumnya tidak dijalankan," tuturnya.

Selama ini, jelas Satria, payung hukum di sektor pajak belum fokus pada upaya penagihan kepada wajib pajak yang telat bayar PBB. Ia mengatakan cukup banyak peraturan telah yang diterbitkan pemerintah, tetapi terfokus untuk menyelesaikan keterlambatan bayar jenis pajak lainnya, seperti pajak penghasilan (PPh) dan Pajak pertambahan nilai (PPN).

"PBB ini yang belum ter-cover. Dalam Perdirjen sebelumnya penerbitan STP belum jelas mengatur mekanismenya karena hanya merujuk pada UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan)," katanya.

Bersamaan dengan terbitnya PMK Nomor 78/PMK.05/2016, Menkeu juga mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.

Satria menambahkan, tidak banya jumlah wajib pajak di sektor PBB kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Namun, total tunggakan atas keterlambatan bayarnya cukup lumayan meski sumbangannya terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan tidak dominan.

"Sebenarnya potensi PBB tidak terlalu besar, tetapi semua cara kita pakai untuk mengejar target penerimaan pajak," tandasnya.

Dalam APBN 2016, target penerimaan dari PBB ditetapkan sebesar Rp19,4 triliun atau 1 persen dari total target penerimaan pajak Rp1.360,2 triliun.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER