Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan, tren ekspor kelapa sawit tahun ini akan semakin bergerak ke Asia Selatan seiring dengan melemahnya permintaan dari China yang merupakan salah satu negara pengimpor terbesar kelapa sawit Indonesia.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gapki mengatakan, negara-negara Asia Selatan yang terdiri dari Pakistan, India, dan Bangladesh terbilang potensial karena memiliki populasi yang padat yang berimplikasi pada permintaannya yang meningkat.
Terlihat dari data Gapki per April lalu yang menunjukkan ekspor kelapa sawit ke India, Pakistan, dan Bangladesh masing-masing meningkat 32 persen, 26 persen, dan 17 persen secara bulanan (month-to-month). Sementara itu, pada periode yang sama, ekspor kelapa sawit ke China justru anjlok 20 persen di periode yang sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak tahu apa yang mengakibatkan ekspor meningkat ke tiga negara itu beberapa waktu kemarin. Bisa jadi menjelang lebaran karena kan populasi muslim di sana cukup banyak. Tetapi, ini peluang dan kami lihat pasar di sana cukup prospektif," jelas Joko, Jumat (10/6).
Kendati upaya penetrasi ekspor terus dilakukan, minimnya stok kelapa sawit juga bisa menjadi kendala karena produksi kelapa sawit juga ikut menurun antar waktunya. Makanya, saat ini, Gapki juga belum mau melirik peluang di negara tujuan ekspor baru dan lebih fokus di pasar utama.
"Bagaimana mau menggenjot ekspor kalau produksinya masih rendah dan stok kami sendiri juga masih rendah, yakni sekitar 1,8 juta ton," ungkapnya.
Padahal, menurut dia, kelapa sawit bisa menjadi unggulan ekspor Indonesia di antara berbagai komoditas lain, mengingat harganya yang sudah mulai membaik sepanjang tahun ini.
Pada bulan Mei lalu, Gapki mencatat harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) berada di kisaran US$680 hingga US$ 742,5 per metrik ton. Bahkan, harganya sempat menyentuh angka US$754,10 yang artinya ekspor kelapa sawit sudah bisa dikenakan bea keluar karena berada di atas ambang harga US$750 per metrik ton.
Ini cukup menggembirakan mengingat terakhir kali harga kelapa sawit menyentuh angka US$ 750 per metrik ton pada Oktober 2014.
"Ekspor kelapa sawit ini bukan main-main. Kelapa sawit bisa jadi kontributor ekspor komoditas di tengah pelemahan harga semua komoditas unggulan lainnya," terang Joko.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, devisa dari ekspor kelapa sawit juga sudah bisa menyaingi minyak dan gas (migas), meskipun sebelumnya tidak pernah terjadi kondisi demikian. Menurut data yang dimilikinya, kelapa sawit menyumbang devisa sebanyak US$18,5 miliar, sedangkan ekspor migas berkontribusi US$18 miliar terhadap devisa pada tahun 2015.
(bir)