Produsen Listrik Swasta Usulkan Skema PPP untuk 35 Ribu MW

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Rabu, 27 Jul 2016 03:52 WIB
Asosiasi Produsen Listrik Swasta mengusulkan pemerintah menghidupkan kembali program kerja sama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership/PPP).
Asosiasi Produsen Listrik Swasta mengusulkan pemerintah menghidupkan kembali program kerja sama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership/PPP). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) mengusulkan pemerintah menghidupkan kembali program kerja sama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership/PPP) untuk menggiring dana repatriasi pengampunan pajak (tax amnesty) ke proyek pengadaan listrik 35 ribu megawatt (MW).

Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang mengatakan, jika program PPP ini dikawinkan dengan proyek 35 ribu megawatt, dan kemudian dibiayai oleh bank penampung dana repatriasi, maka skema kerja sama ini akan sangat solid. Tak hanya itu, menurutnya skema ini akan mempercepat eksekusi program 35 ribu megawatt.

“Bila skema ini jalan akan meningkatnya kejelasan dan kepastian (clarity & predictability) aturan main untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi investasi di bidang infrastruktur. Juga bisa meminimalisir resiko, meningkatkan kepastian masa depan investasi,” ujar Arthur dalam keterangan resmi, Selasa (26/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, skema PPP sudah berjalan sejak tahun 2005 dan dikenal dengan istilah Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS). Saat ini, KPS telah berganti nomenklatur menjadi Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana diatur lewat Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Adapun, proses perjalanan skema PPP di Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan regulasi. Mulai dari Perpres Nomor 67 Tahun 2005 tentang Penyediaan Infrastruktur melalui Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha. Lima tahun kemudian, aturan tersebut diubah dengan Perpres Nomor 13 Tahun 2010. Kemudian kembali diubah dengan Perpres Nomor 56 Tahun 2011 dan diubah kembali dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2013. Kini, Perpres Nomor 38 Tahun 2015 masih berlaku dan mesti dirujuk oleh pemangku kepentingan.

Sekjen APLSI Priamanaya Djan mengatakan, program 35.000 megawatt harus memanfaatkan aliran dana masuk dari program tax amnesty.

“Dana repatriasi cukup besar diproyeksikan. Sebaiknya, instrumen investasi yang disiapkan tidak hanya disektor keuangan dan pasar modal, dia harus menetes ke infrastruktur dan energi agar lebih produktif,” ujarnya.

Pria mengatakan, pembiayaan program 35.000 megawatt membutuhkan dana investasi cukup besar yakni Rp 1.189 triliun. Sebagian besar masalah yang dihadapi produsen adalah kendala sumber pendanaan, utamanya oleh produsen lokal sehingga program ini berjalan lamban.

“Semoga masuknya dana ke Indonesia ini, bisa menjadi bagian dari solusi,” ujar dia.

Seperti diketahui, repatriasi berlaku pada periode 1 Juli-30 September 2016, 1 Oktober-31 Desember 2016, dan 1 Januari-31 Maret 2017 masing-masing dikenai tarif tebusan 2 persen, 3 persen, dan 5 persen. Deklarasi periode 1 Juli-30 September 2016, 1 Oktober-31 Desember 2016, dan 1 Januari-31 Maret 2017 masing-masing dipungut tarif tebusan 4 persen, 6 persen, dan 10 persen.

Tarif tebusan sebesar 0,5 persen dan 2 persen masing-masing berlaku bagi UMKM beromzet sampai Rp 4,8 miliar dengan nilai harta hingga Rp 10 miliar dan nilai harta lebih dari Rp 10 miliar untuk periode 1 Juli 2016-31 Maret 2017.

Sebelumnya pemerintah menghitung potensi dana deklarasi dan dana repatriasi yang masuk setelah UU Tax Amnesty diberlakukan masing-masing mencapai Rp4.000 triliun dan Rp1.000 triliun. Dengan asumsi tersebut, penerimaan pajak dari tarif tebusan diperkirakan mencapai Rp165 triliun. (gir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER