Jakarta, CNN Indonesia -- Pembahasan revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi akan menjadi prioritas kerja utama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar. Hal tersebut dibahas dalam rapat perdana antara jajaran pejabat Kementerian ESDM dengan menteri yang baru ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo tersebut.
I Gusti Nyoman Wiraatmaja, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM mengungkapkan hal tersebut. Menurut dia, pembahasan RUU Migas bersifat mendesak untuk diselesaikan.
"Kami menyampaikan ke pak Menteri, kalau masalah revisi UU Migas menjadi prioritas utama di sektor migas. Tapi, sayangnya, itu kan bukan domain kami. Setidaknya, sebagai dukungan, kami berharap itu bisa rampung tahun ini," ujarnya, Kamis (28/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, sampai sejauh ini, Wiraatmaja mengaku, belum ada arahan khusus mengenai RUU Migas kepada Direktorat Jenderal Migas. Pengganti Sudirman Said yang terpilih dalam perombakan kabinet kerja (reshuffle) jilid kedua pemerintahan Jokowi-JK tersebut baru akan memberi arahan pekan depan.
Di samping RUU Migas, Kementerian ESDM juga memiliki 29 proyek strategis lain yang menjadi prioritas. Antara lain, kebijakan Cadangan Penyangga Energi (CPE), peraturan terkait hak partisipasi daerah sebesar 10 persen, serta kelanjutan dari Peraturan Presiden terkait harga gas bagi industri.
"Itu yang kami sampaikan ke pak Menteri dan juga ada hal lain, seperti proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) dan beberapa proyek hulu dan hilir. Tapi, memang RUU Migas yang menjadi prioritas," imbuh Wiraatmadja.
Sebagai informasi, kemarin, Rabu (27/7), Arcandra mengaku siap merombak beberapa kebijakan di sektor energi apabila kebijakan sebelumnya menghambat investasi. Ia mencontohkan, UU Migas yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, sehingga membuat investor kurang melirik pasar migas dalam negeri.
"Jika dulu investasi migas dilakukan saat era ladang minyak dengan kondisi geologis yang mudah dengan infrastruktur yang memadai, tentu saja sekarang harus bergerak kepada investasi di lokasi yang marginal, offshore, dan dilaksanakan secara deepwater," tutur Arcandra.
(bir/gen)