Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) berhasil meningkatkan rasio keberhasilan (
success ratio) eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) ke level 70 - 80 persen sepanjang tahun ini. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan
success ratio industri migas nasional di level 50 - 60 persen.
“Eksplorasi itu harus bekerja dengan
success ratio. Jadi jika melakukan 10 pemboran, yang terjadi jarang sekali sukses semuanya.
Success ratio Pertamina
overall antara 70 - 80 persen,” ujar Doddy Priambodo, Senior Vice President Exploration Pertamina, dikutip Selasa (16/8).
Namun, Doddy mengungkapkan Pertamina kemungkinan besar akan mengalami penurunan
success ratio mulai tahun depan. Menyusul upaya perusahaan pelat merah tersebut untuk berburu sumber migas yang memiliki cadangan besar dan sulit ditemukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut,
success ratio perusahaan tempatnya bekerja bisa turun ke level 60 - 65 persen. Hal ini sesuai dengan arahan manajemen Pertamina bahwa kegiatan eksplorasi Pertamina dituntut untuk meningkatkan risiko, agar bisa meraih peluang untuk mendapatkan sumber-sumber migas besar.
“Direktur Hulu Syamsu Alam sudah memberikan
direction, risikonya diperbesar lagi karena perusahaan migas lain mencatatkan succes ratio 50 - 60 persen, tapi temuannya besar,” katanya.
Angka penemuan cadangan minyak di Indonesia sendiri masih menyedihkan. Bila dibandingkan dengan negara Asia - Pasifik, Indonesia tertinggal oleh Australia dan Malaysia dengan torehan rasio pengembalian cadangan 0,5. Artinya, setiap produksi 1 barel, cadangan yang ditemukan hanya 0,5 barel.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi mencatat aktivitas penemuan cadangan minyak dan gas oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun ini masih jauh dari harapan.
Hal ini diduga akibat pelemahan harga minyak dunia sejak akhir 2014. Hingga semester I 2016, aktivitas survei seismik baru mencakup dua kegiatan. Padahal dalam dokumen rencana kerja dan anggaran (work plan and budget) KKKS, survei ditargetkan mencapai 33 kegiatan. Survei non-seismik juga terpuruk dari rencana sebesar 13 kegiatan, realisasinya hanya empat kegiatan.
Menurut Doddy, eksplorasi merupakan cara untuk mengetahui lokasi-lokasi yang dinilai berpotensi memiliki cadangan migas. Setelah lokasi tersebut diketahui, baru kemudian dilakukan pengeboran untuk membuktikan potensi cadangan migas yang terkandung di dalamnya.
“Kalau pemburu, harimau itu kan ditembak. Kalau eksplorasi tidak, maksimum yang kita dapat kandangnya. Yang membuktikan hanya satu, pemboran,” kata dia.
Rovicky Dwi Putrohari, Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), mengatakan tingginya sukses rasio dari jumlah pengeboran memang menunjukkan kepiawaian geosaintisnya.
Namun kalau dilihat besarnya temuan yang relatif kecil tentunya tidak menolong banyak dalam memberikan cadangan pengganti. Memang cadangan besar biasanya juga ditempat yang risikonya tinggi sehingga perlu dilihat dimana saja pengeboran itu dilakukan untuk melihat efektifitas dari kegiatan eksplorasi.
“Di tempat yang risiko tinggi dengan hasil besar itu yang sering dipakai sebagai ‘uji nyali’ dalam melakukan eksplorasi,” kata Rovicky.
Menurut dia, potensi migas di Indonesia masih belum sepenuhnya dieksplorasi secara intens, termasuk di Indonesia bagian barat.
Sebagai perusahaan yang 100 persen dimiliki negara, sudah semestinya pemerintah tidak hanya mendukung Pertamina dalam mengambil blok yang habis masa produksinya, tetapi juga dalam kegiatan eksplorasi ditempat lain. Misalnya Indonesia Timur, maupun target-target dalam (
deeper target) di Indonesia Barat.
“Sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara, Pertamina juga perlu menjadi pionir eksplorasi di Indonesia,” tegas dia.
Teknologi EksplorasiDoddy mengungkapkan tidak hanya memanfaatkan teknologi terkini, Pertamina juga menggunakan teknologi yang sudah ada dalam melakukan eksplorasi.
“Eksplorasi itu kan
full teknologi, teknologi terkini maupun teknologi yang sudah ada kita
develop, atau kita men-
develop sendiri,” kata dia.
Pertamina, lanjut dia, selalu mendapatkan teknologi terbaru untuk pemrosesan maupun interpretasi. Namun tidak hanya itu, Pertamina juga mencoba untuk menerapkan teknologi lama yang kalau digunakan dengan bagus dan tepat itu juga bisa mendukung eksplorasi. Hal ini telah dicoba dilakukan melalui yang namanya
profegravity, magnetic.
“Kami coba di Selat Kalimantan, luasnya 16 ribu km persegi. Kami terbang di ketinggian 150-200 ribu meter, kita ukur
gravity dan magnetic bumi. Dan result-nya luar biasa,” ungkap dia.
Doddy mengatakan melalui teknologi lama tersebut bisa mengidentifikasi besar cekungan jauh lebih presisi. Dan struktur geologi yang lain, patahan,lipatan, bisa mendapatkan dengan bagus.
“Ternyata tidak harus teknologi yang kita anggap lama itu dibuang. Di Kalimantan itu cekungannya demikian dalam sehingga seismik sendiri makin ke bawah makin hilang. Itulah yang fungsinya digantikan oleh
gravity dan
magnetic,” kata dia.
Menurut Rovicky, teknologi eksplorasi di dunia memang tidak banyak perkembangannya sejak beberapa tahun terakhir. Apalagi dengan anjloknya harga minyak dan komoditas sumberdaya alam lainnya, termasuk turunnya harga batu bara, emas, dan bahan tambang sehingga teknologi di duniapun tidak banyak yang dapat dimanfaatkan. Di sisi lain, tantangan teknologi itu tergantung geografis dan geologisnya.
“Salah satu khususnya untuk Indonesia yang tanah permukaannya banyak endapan gunung api merupakan tantangan tersendiri untuk melihat kondisi bawah permukaannya dengan metode seismik. Perlu ada teknologi lain dalam mengindera kondisi tanah dibawah lapisan endapan gunung api,” ungkap Rovicky.
Rovicky mengatakan saat harga rendah kegiatan operasi lapangan, termasuk survei seismik dan pengeboran eksplorasi pasti akan sangat membebani keuangan walaupun biaya nominalnya turun karena sewa
rig dan kapal juga menurun. Jika memiliki modal besar dan sangat kuat tentunya melakukan pengeboran eksplorasi menjadi ideal saat harga rendah.
“Tetapi kalau modal terbatas kegiatan studi dengan melibatkan
human resources yang besar barangkali dapat menolong untuk meningkatkan kesiapan saat harga membaik nantinya,” kata dia.
(gen)