Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan para pemburu rente di sektor jual beli gas masih merasakan nikmatnya keuntungan yang didapat dari bisnis tersebut di Indonesia.
Dikutip dari risetnya, Faisal mengeluhkan ketidakberhasilan pemerintah dalam menuntaskan persoalan harga gas yang tinggi bagi industri. Berikut nukilan analisis mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi tersebut:
Kementerian Perindustrian mengklaim harga gas di Indonesia sangat mahal dibandingkan dengan di negara-negara tetangga. Sebaliknya, SKK Migas memandang harga gas di dalam negeri tergolong murah. Setiap pihak punya pandangan masing-masing dan cenderung tidak memiliki pemahaman mendalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bertahun-tahun pemerintah tidak berhasil menuntaskan persoalan harga gas "mahal". Tak kunjung selesai juga walaupun sudah keluar Perpres Nomor 40 Tahun 2016 pada Mei 2016.
Bukannya menyelesaikan masalah, malahan Perpres itu menimbulkan banyak masalah baru. Perpres menetapkan penurunan harga gas yang berlaku surut sejak Januari 2016. Bisa dibayangkan kerumitan penyesuaian harga yang berlaku surut itu.
Bertahun-tahun praktek bisnis gas tidak sehat tanpa penyelesaian yang menohok ke akar masalah. Salah satu akar masalah utama adalah bisnis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente.
Laporan Tahunan 2014 BPH Migas menyebutkan PT Pertagas hanya menjual langsung gas kepada dua pengguna akhir, yaitu PT Pupuk Sriwijaya (Persero) dan pabrik keramik PT Arwana AK. Selebihnya dijual kepada 19
trader.
Contoh gamblang yang membuat harga gas sangat mahal adalah yang dialami oleh pengguna akhir PT Torabika. Gas yang dibeli oleh PT Torabika berasal dari sumber gas di Bekasi.
Trader pertama yang mendapatkannya adalah PT Odira. Pemasok pertama ini menjual kepada
trader PT Mutiara Energi dengan harga US$9 per MMBTU.
Selanjutnya, PT Mutiara Energi memindahtangankan gas ke PT Berkah Usaha Energi seharga US$11,75 per MMBTU dengan menggunakan pipa open access 24" milik Pertagas dengan toll fee sebesar US$0,22 per MMBTU. Dengan demikian PT Mutiara Energi memperoleh margin US$2,53 per MMBTU tanpa bersusah payah membangun infrastruktur pipa.
PT Berkah Usaha Energi membangun pipa 12" sepanjang 950 meter untuk menyalurkan gas kepada
trader berikutnya, yaitu PT Gazcom Energi dengan harga US$12,25 per MMBTU. Berarti PT Berkah Usaha Energi memperoleh margin US$0,5 per MMBTU dengan hanya membangun pipa tak sampai 1 (satu) km.
Dengan membangun pipa 6" sepanjang hanya 182 meter, PT Gazcom menjual gas miliknya kepada pembeli akhir PT Torabika dengan harga US$14,5 per MMBTU. Pipa sependek itu menghasilkan margin US$2,25 per MMBTU.
Selengkapnya, para
trader yang menjadi mitra Pertagas sebagaimana tertera dalam Laporan Tahunan 2014 adalah:
1. PT Bayu Buana Gemilang
2. PT Java Gas Indonesia
3. PT Sadikung Niagamas Raya
4. PT Surya Cipta Internusa
5. PT Walinusa Energi
6. PT Alamigas Mega Energy
7. PT Dharma Pratama Sejati
8. PT IGAS
9. PT Trigas (CNG)
10. PT Ananta Virya (CNG)
11. PT Sentra Prima Services (CNG)
12. PT Patria Migas
13. PT IEV Gas
14. PT Raja Rafa Samudra
15. PT Indonesia Pelita Pratama
16. PT Berkah Mirza Insani
17. PT Bayu Buana Gemilang
18. PT Mutiara Energi
19. PT Jabar Energi
Masih ada lebih dari 50
trader lainnya yang berburu rente di bisnis gas. Pada umumnya perusahaan dagang yang kebanyakan sekedar calo itu dimiliki oleh figur yang dekat dengan kekuasaan serta para pensiunan pejabat. Saya memiliki daftar komisaris dan direksi perusahaan
trader itu.
Tulisan ini baru sekelumit dari bisnis gas yang penuh dengan pemburuan rente. Alangkah baiknya pemerintah menertibkan praktek bisnis gas yang amat tidak sehat sebelum mendirikan holding migas. Kalau dipaksakan, sangat boleh jadi praktek pemburuan rente bakal melebar dan membesar. Perusahaan yang betul-betul sehat akan terseret menjadi obyek bancakan baru.
(gen)