Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak dunia yang pernah menyentuh rekor US$132,8 per barel pada Juli 2008 atau rata-rata US$108,37 per barel sepanjang 2014 disebut Faisal Basri, tinggal sejarah. Ekonom Universitas Indonesia itu meyakini, seluruh perusahaan minyak dan gas bumi (migas) maupun negara-negara produsen tidak akan pernah menikmati keuntungan besar dari harga minyak yang tinggi.
“Dunia perminyakan telah memasuki babak baru. Porsi minyak bumi dalam penyediaan energi turun dan akan terus turun lebih cepat, digantikan oleh gas dan energi terbarukan terutama energi surya,” ujar Faisal dalam risetnya, dikutip Jumat (10/6).
Faisal mencatat, lesunya sisi produksi migas dan tingginya konsumsi energi dunia akan membentuk keseimbangan harga baru. Terlebih mayoritas negara di dunia sepakat untuk mengurangi kerusakan lingkungan dengan memangkas konsumsi energi berbasis fosil seperti minyak dan mulai menggantikannya dengan energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas menyebut kenaikan harga minyak yang terjadi pada April 2016 rata-rata US$40,8 dan belakangan menyentuh angka US$50 per barel tidak akan meroket seperti dulu.
“Secara geografis, peranan Timur Tengah sebagai pemasok energi akan mengalami penurunan sejalan dengan peningkatan peranan Amerika Utara. Di Timur Tengah, supremasi Arab Saudi melemah sejalan dengan kembalinya Iran ke pasar minyak dunia pasca kesepakatan nuklir negara itu dengan negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB plus Jerman,” kata Faisal.
Di tengah persaingan antar negara produsen minyak besar tersebut, Indonesia yang disebut Faisal hanya memiliki cadangan terbukti 3,7 miliar barel atau 0,2 persen dari cadangan minyak dunia tidak bisa menikmati apapun dari kondisi tersebut.
“Dalam waktu tidak sampai 12 tahun, cadangan minyak Indonesia akan habis,” ujarnya.
Yang hanya bisa dilakukan Indonesia saat ini hanyalah mengoptimalkan cadangan minyak yang ada, sambil mengakselerasi temuan cadangan minyak baru agar sebesar mungkin mengimbagi peningkatan konsumsi. Sehingga bisa menekan impor yang sekarang ini mencapai sekitar 800 ribu barel per hari.
“Di tengah persaingan yang semakin ketat dengan negara produsen minyak besar yang mengobral berbagai macam insentif, terutama dari negara yang ongkos produksinya relatif rendah, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk mempertahankan sistem insentif yang berlaku,” katanya.
Faisal menilai akan lebih baik bila pemerintah tidak lagi menggenjot penerimaan negara dari sektor migas, melainkan mengupayakan agar impor minyak tidak menggerogoti devisa negara.
“Caranya, pembangunan kilang terpadu harus dipercepat agar bisa meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian dan memacu industrilisasi. Puluhan miliar dolar bisa dihemat jika semakin banyak minyak mentah dan gas yang diolah di dalam negeri untuk menghasilkan bahan bakar dan berbagai produk petrokimia yang menjadi kebutuhan industri manufaktur,” jelasnya.
Insentif Energi TerbarukanSelain itu, pemerintah diminta untuk lebih fleksibel dalam hal menentukan porsi bagi hasil dan
cost recovery. Mengingat karakteristik ladang migas yang sangat beragam dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi.
“Pengusahaan migas merupakan kegiatan padat modal dan padat teknologi yang berisiko tinggi. Kepastian hukum menjadi prasyarat penting. Bagaimana mungkin kepastian usaha hadir jika aturan yang mendasari usaha migas tidak berbentuk nyata, hanya berupa lisan seperti yang terjadi pada proyek Masela?” kritik Faisal.
Oleh karena itu, ia menilai pilihan yang paling logis saat ini adalah mendorong penggunaan energi terbarukan untuk meningkatkan kemandirian energi. Ia menyarankan agar perubahan sistem insentif tidak hanya terbatas pada energi fosil, tetapi juga mencakup sumber energi primer yang terbarukan.
(gen)