SETAHUN PAKET EKONOMI

Industri Tekstil Sebut PLN Ingkar Janji Pangkas Tarif Listrik

CNN Indonesia
Jumat, 09 Sep 2016 06:44 WIB
Kebijakan diskon tarif listrik 30 persen sepanjang dini hari, sesuai dengan isi paket kebijakan ekonomi jilid III, tidak pernah terealisasi hingga sekarang.
Ketua Umum API Ade Sudradjat mengatakan, pada awalnya industri senang dengan adanya kebijakan ini. Pasalnya, ada kesempatan untuk efisiensi biaya produksi yang signifikan, mengingat listrik merupakan salah satu komponen biaya yang terbesar. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma).
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menganggap kebijakan diskon tarif listrik sebesar 30 persen sepanjang dini hari, sesuai dengan isi paket kebijakan ekonomi jilid III, tidak pernah terealisasi hingga sekarang.

Ketua Umum API Ade Sudradjat mengatakan, pada awalnya industri senang dengan adanya kebijakan ini. Pasalnya, ada kesempatan untuk efisiensi biaya produksi yang signifikan, mengingat listrik merupakan salah satu komponen biaya yang terbesar.

Menurut Ade, beban listrik di industri hulu tekstil berkisar antara 25 persen hingga 28 persen dari total komponen ongkos produksi. Sementara itu, beban listrik di industri pemintalan dan pertenunan masing-masing tercatat 18 hingga 25 persen dan 15 hingga 22 persen dari total biaya produksi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seiring waktu berjalan, impian industri untuk melakukan efisiensi kandas begitu saja. Lantaran, PT PLN (Persero) terikat Undang-Undang (UU) Korporasi yang menyebut bahwa PLN tidak bisa memberikan tarif listrik yang tidak sesuai dengan keekonomiannya.

Akibatnya, perusahaan setrum pelat merah itu tidak bisa memberlakukan diskriminasi tarif listrik dari jam 23.00 hingga 08.00.

"Kami dengar, PLN baru mau melaksanakan kebijakan ini kalau ada subsidi bagi diskon tarif 30 persen itu. Ternyata, pemerintah tak punya uang untuk memberikan subsidi itu. Maka dari itu, sampai sekarang implementasinya tidak pernah jalan," jelas Ade kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/9).

Karena tidak menemukan solusi, asosiasi kemudian mengusulkan penurunan harga gas bagi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) milik PLN. Pasalnya, harga gas yang menurun bisa meredam tarif listrik yang diproduksi PLTGU.

Jika permintaan ini dikabulkan, maka penurunan tarif listrik PLTGU tak hanya bisa dinikmati industri tekstil, mengingat 30 persen pembangkit PLN dijalankan dengan tenaga gas. Kendati demikian, Ade menganggap ini bukanlah insentif, mengingat fasilitasnya tidak dinikmati industri secara langsung.

"Daripada buntu, akhirnya kami minta turunkan harga gas sebagai energi primer saja, karena harga Indonesia yang sebesar US$12 per MMBTU ternyata lebih mahal dibanding negara tetangga yang hanya US$4 per MMBTU. Kalau misalnya harga gas bisa turun US$8 per MMBTU, tarif listrik pasti akan menurun," jelasnya.

Meski diskon listrik tak sesuai dengan harapan, Ade mengatakan bahwa program penundaan pembayaran tagihan listrik hingga 40 persen dari tagihan listrik enam atau sepuluh bulan pertama berjalan dengan baik.

Namun, kebijakan ini dianggapnya seperti angin yang berlalu. Memang pada awalnya industri menikmati tagihan listrik yang murah. Namun karena ini bersifat tunggakan, maka industri harus membayar tagihan yang membengkak di periode berikutnya.

"Anggap saya punya tunggakan tagihan listrik sebesar Rp3 miliar. Nantinya, Rp3 miliar itu akan dibayar bertahap dalam jangka waktu setahun. Artinya, tagihan listik kan tidak ada perubahan, cuma beda cara penagihannya saja. Dengan demikian, tidak berpengaruh juga ke keuangan perusahaan," tegasnya.

Dengan memperhatikan dua program itu, ia menganggap paket kebijakan jilid III terkait listrik belum berhasil selama setahun terakhir.

"Ya mau bagaimana lagi, tidak ada dampaknya apa-apa ke industri," pungkas Ade.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER