Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menyatakan nelayan dan pengusaha perikanan telah sepakat untuk melawan penangkapan ikan ilegal (
illegal fishing) yang kerap terjadi di wilayah perairan Indonesia.
Kesepakatan tersebut dihimpun setelah Menko Maritim melakukan rapat koordinasi bersama nelayan dan pengusaha dalam rangka mempercepat pembangunan industri perikanan nasional.
Menurut Luhut, Nelayan dan Pengusaha Perikanan mendukung keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang gencar menangkap para pelaku
illegal fishing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka sepakat untuk melawan
illegal fishing, mereka satu suara untuk melawan pencuri-pencuri ini," Kata Luhut, di Jakarta, Senin (19/8).
Namun, terdapat kesepakatan lain yang juga dihimpun Kemenko Maritim dalam pertemuan kemarin. Beberapa kesepakatan tersebut dihimpun setelah pengusaha dan nelayan menyampaikan keluh kesah terkait kebijakan yang dirasa menyulitkan bagi para nelayan dan pengusaha perikanan.
"Selain dukung pemberantasan
illegal fishing, mereka sampaikan juga keluh kesah mereka. Ada juga yang sampaikan soal moratorium penangkapan ikan itu, ini kami himpun biar nanti bisa disampaikan pada Menteri Kelautan dan Perikanan langsung," kata Luhut
Menurutnya, terkait kebijakan moratorium penangkapan ikan pada tahun lalu, banyak kalangan pengusaha perikanan yang mengeluh lantaran harus ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, pelarangan penggunaan cantrang sebagai alat penangkap ikan, dinilai membebani nelayan.
"Bali itu yang di PHK katanya bisa sampai 7 ribu orang, intinya pelarangan cantrang ini kan
deadline-nya 2017. Dari Bali, Pati, Tegal, Muara Baru juga sampaikan soal cantrang dan PHK ini, jadi kami coba carikan solusi," katanya.
Selain itu, kebijakan lain yang dibahas terkait penangkapan ikan di laut dalam. Luhut mengatakan, para nelayan mengaku sanggup menangkap ikan di laut dalam jika diberi izin kapal di atas 400 Gross Ton (GT).
Ukuran kapal 400 GT tersebut dinilai akan memberi kemudahan. Alasannya, semakin besar kapal, maka akan semakin jauh pula jangkauan tangkapan ikan nelayan. Oleh karenanya, tangkapan ikan bakal semakin melimpah, mengingat kuantitas ikan terkonsentrasi di perairan jauh.
"Para nelayan bilang, mereka sanggup untuk mencari ikan dengan jarak jauh asalkan diberi izinnya saja. Saya baru dengar kalau mereka sanggup. Nanti setelah Bu Susi pulang dari Amerika Serikat, baru kami bicarakan solusinya terkait ini," katanya.
Sebagai informasi, saat ini, kapal tangkap yang boleh beroperasi maksimal harus berukuran 150 GT, sesuai dengan Surat Edaran Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)/Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Kapasitas kapal yang kecil membuat nelayan kesulitan melaut jauh. Kondisi tersebut membuat industri perikanan tak berkembang sehingga tidak menghasilkan penerimaan bagi negara.
Sehingga, menurut Luhut dengan izin menggunakan kapal besar, tentu akan berdampak pada penerimaan negara melalui pajak yang dibayarkan oleh pengusaha ikan dan nelayan.
"Kebijakan kapal ini berdampak sama kebijakan satunya lagi, ini soal komitmen bayar pajak. Kan saya bilang selama ini pajaknya mana, kecil pajaknya. Jadi mereka juga sudah sepakat juga untuk bayar pajak," kata Luhut
Kebijakan lainnya terkait dengan izin menggunakan kapal berukuran besar. Para nelayan, menurut Luhut, telah berkomitmen untuk menjaga ekosistem perairan dan tidak melakukan
overfishing meskipun menggunakan kapal berukuran besar.
"Sudah sepakat, ambil ikan seperlunya, tidak boleh
overfishing, makanya sudah ada
roadmap ini. Nanti tinggal disampaikan ke Bu Susi, pokoknya kita ini mau cari solusi bersama," katanya.
(gir)