Sri Mulyani Mengaku Pusing Dimintai Insentif Hulu Migas

CNN Indonesia
Jumat, 23 Sep 2016 18:23 WIB
Sri Mulyani menyebut revisi PP Nomor 79 tahun 2010 merupakan harmonisasi UU 22 tahun 2001 dan UU 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Sri Mulyani menyebut revisi PP Nomor 79 tahun 2010 merupakan harmonisasi UU 22 tahun 2001 dan UU 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean).
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku sempat kesulitan memberikan insentif bagi sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).

Menurutnya, persetujuan atas revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Perpajakan Bagi Industri Hulu Migas diberikannya setelah Kementerian Keuangan membedah dua Undang-Undang (UU).

Sri Mulyani menyebut revisi PP Nomor 79 tahun 2010 merupakan harmonisasi antara UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas dan UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasalnya, insentif fiskal diberikan oleh Kemenkeu. Namun di sisi lain, terdapat pula insentif non-fiskal yang diakomodasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Pembahasan ini lebih lama karena ada dua UU yang harus diharmonisasi. Ini terbilang sulit karena kami harus mencocokkan pasal-pasal yang harus konsisten dengan masing-masing UU yang berkaitan," jelas Sri Mulyani, Jumat (23/9).

Meski revisi tersebut memusingkan, ia menganggap PP 79 tahun 2010 perlu direvisi karena telah membuat masalah baru.

Masalah tersebut, katanya, banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang membandingkan rezim PP 79 dengan periode di mana pemerintah membebaskan pajak dan retribusi atas barang-barang operasional hulu migas (assume and discharged).

Pasalnya setelah PP 79 berlaku, KKKS menganggap investasi migas tak menarik lantaran beberapa pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan bea masuk tidak dihapuskan dan malah dimasukkan ke komponen cost recovery.

Akibatnya, KKKS dihadapkan pada pajak-pajak yang perlu dibayar saat eksplorasi. Padahal, dengan rasio keberhasilan (success rate) eksplorasi migas sebesar 39 persen, ada kemungkinan berbagai pajak tersebut tidak akan dikembalikan pemerintah dalam bentuk cost recovery.

"Sehingga ujung-ujungnya membuat keekonomian proyek migas menjadi sulit. Cost lebih besar, return tidak memberikan keyakinan. Apalagi, ini terjadi pada pencarian minyak di laut dalam, di mana teknologi yang besar dibutuhkan, capital spending juga besar serta berisiko tinggi," tutur Sri Mulyani.

Maka dari itu, pemerintah akhirnya rela tidak mendapatkan penerimaan pajak dari kegiatan eskplorasi. Namun menurutnya, hasil penerimaan dan peningkatan pajak dari inplementasi ini akan jauh lebih besar dibanding sebelumnya.

"Dan di sini kami tidak temukan ada potential loss, karena kami yakin hasil penerimaan pajak dan PNBP nanti akan jauh lebih besar dibandingkan penerimaan ketika pajak eksplorasi ini tetap kami terapkan," tambahnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER