Pengusaha Protes Rencana Kenaikan Pungutan Ekspor CPO

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Jumat, 23 Sep 2016 11:16 WIB
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia menilai penaikan pungutan ekspor CPO bisa menghambat ekspor dan menurunkan daya saing.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia menilai penaikan pungutan ekspor CPO bisa menghambat ekspor dan menurunkan daya saing. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana menaikkan dana pungutan ekspor minyak sawit (CPO) karena dinilai bisa menghambat ekspor dan menurunkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga mengatakan kenaikan dana pungutan untuk membiayai program mandatori biodiesel 20 persen (B20) tidaklah tepat. Pasalnya kenaikan ini akan membebani ekspor sawit baik hulu maupun hilir.

Sejak tahun lalu, lanjutnya, volume ekspor produk hilir seperti minyak goreng kemasan sudah mengalami penurunan sebesar 15 persen semenjak dana pungutan CPO berlaku. Besaran pungutan mencapai US$20 per ton. Kondisi sama dialami ekspor RBD Olein dan RBD Palm Oil merosot 5 persen dalam periode sama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Bahkan ekspor biodiesel turun 100 persen atau sama sekali tidak ada ekspor pada tahun ini,” kata Sahat di Jakarta, Kamis (22/9) .

Sahat mengungkapkan, pelaku usaha telah berkorban untuk menanggung subsidi biodiesel yang telah berlaku dalam kurun waktu setahun belakangan. Maka, menurutnya tidaklah tepat beban tersebut kembali ditambah dengan menaikkan dana pungutan ekspor sawit.

"Solusi yang bisa diambil adalah pemerintah mengalokasikan subsidi untuk program mandatori B20. Dengan pertimbangan, biodiesel membantu masyarakat untuk mendapatkan udara sehat lantaran biodiesel yang telah dicampur solar tidak mengandung sulfur," katanya.

Selain itu, konsumsi biodiesel sejalan dengan komitmen pemerintah yang berencana menekan emisi karbon dalam Konferensi Perubahan Iklim atau COP ke-21. Hal itu menurutnya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Di negara lain, pemerintah yang keluar duit untuk mengurangi emisi,”paparnya.

Opsi lainnya, kata Sahat, masyarakat yang menanggung harga beli biosolar. Menurut Sahat masyarakat juga berperan untuk menjaga kebersihan udara dengan penggunaan biosolar. Termasuk dalam hal ini Pertamina sebagai offtaker biodiesel.

“Pertamina juga seharusnya ikut untuk menjaga kebersihan udara. Ini kan tugas bersama bukan tanggungjawab pengusaha biodiesel saja,” kata Sahat.

Menurut Sahat, persoalan biodiesel menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Ia tak ingin pengusaha sawit yang dibebankan karena pelaku usaha sudah berkorban melalui pungutan ekspor.

Dalam kesempatan terpisah, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah menjelaskan, jika pungutannya terlalu tinggi, maka akan mempersulit ekspor sawit.

"Kenaikan pungutan bisa kontraproduktif kepada industri hilir sawit dari aspek daya saing dan menghambat ekspor dan menurunkan produksi," jelasnya. (gir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER