Jakarta, CNN Indonesia -- Airlangga Hartarto dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Menteri Perindustrian sejak 27 Juli 2016. Beban berat menjaga pertumbuhan industri di tengah kondisi ekonomi negara yang tengah lesu akibat minimnya daya beli kini beralih dari Saleh Husin, ke pundak Airlangga.
Tim
CNNIndonesia.com berkesempatan mewawancarai putra dari Ir Hartarto, mantan Menteri Perindustrian di era Orde Baru di ruang kerjanya pada Kamis (25/8) lalu. Politisi Partai Golongan Karya (Karya) tampak begitu menguasai permasalahan besar yang dihadapi oleh dunia industri saat ini.
Tidak hanya itu, rencana pemerintah membentuk perusahaan induk badan usaha milik negara (
holding BUMN) juga mendapat sorotan sang menteri. Berikut nukilan wawancara dengan Airlangga Hartarto:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
[Gambas:Video CNN]Kendala apa yang tengah dihadapi pelaku industri Indonesia saat ini?
Dari sudut industri, persoalan tentu logistik salah satu isu. Dari segi investasi tentu perekonomian global. Dengan harga komoditas yang menurun itu kan mengerem pertumbuhan ekonomi di beberapa negara.
Negara tujuan ekspor yang tradisional kan kini pertumbuhannya mengalami kontraksi. Sehingga tentu ekspor Indonesia mengalami tantangan. Ke depan tentu fasilitas investasi, apakah investasi baru atau investasi ekspansi perlu didorong.
Ada koordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan dan BKPM?Perindustrian kan bicaranya dengan beberapa kementerian lain untuk bahan baku, dan energi juga ke Kementerian ESDM sebagai energi maupun bahan baku. Kemudian kita bicara kebijakan fiskal, ada di Kementerian Keuangan.
Kita bicara
trade remedy dan perdagangan, menghadapi
unfair trade ada di Kementerian Perdagangan. Kita bicara dengan pengusaha, apakah BUMN atau swasta itu terkait efisiensi, perbaikan energi, efisiensi kapasitas produksi dan jaringan distribusi.
Ini kan banyak pokok masalah yang diurai, mana yang paling prioritas?Salah satu yang paling prioritas adalah harga energi.
Harga energi dan harga bahan baku kan sama. Itu sektor yang kena itu banyak. Kalau kita bicara gas, kita bicara tenaga listrik dan bicara bahan baku petrokimia. Petrokimia kan bisa menunjang pangan lewat
fertilizer, ke otomotif, bisa juga ke
packaging. Bisa juga ke bahan baku tekstil dan obat-obatan dan farmasi.
Bisa juga menyangkut perkembangan industri antar wilayah. Salah satunya kan kita ingin membangun Teluk Bintuni, ingin membangun di Masela. Salah satu petrokimia ini akan terbantu jika harga gasnya memiliki daya saing.
Yang saya sebut daya saing adalah harga kompetitor Indonesia di
market global. Salah satu yang dipertimbangkan di Asean adalah Malaysia, di Asia Pasifik ada China, Jepang, dan Korea. Mereka semua sama-sama mau masuk ke industri petrokimia dan
downstream.
Artinya dengan harga energi yang lebih rendah akan ada efisiensi?Kita tidak bicara harga murah, tapi harga yang berdaya saing.
Competitive price itu ada di US$4,5 per MMBTU.
Competitive price itu mereka mengambil harga gas sesuai dengan harga yang terkait dengan harga minyak. Sehingga harga minyak turun, industri mendapat harga gas yang turun juga.
US$4,5 per MMBTU itu kompetitif?Di negara Malaysia yang merupakan
benchmark Indonesia, harga LNG cair US$4,5. Demikian juga di Korea, China, dan Jepang. Tentu ini menjadi
feed stock bagi negara-negara tersebut.
Kalau harga di Indonesia rata-rata berapa?Kita rata-rata US$9 sampai US$11 per MMBTU.
Instruksi Presiden Jokowi agar harga gas sampai US$6 per MMBTU bagaimana implementasinya?Ini sedang kita bahas jumlah industrinya. Karena bagi Kementerian Perindustrian, bagi perekonomian indonesia,
long list lebih baik dibanding
short list. Produk kita yang bersaing di pasar global, kalau komponen energi tidak kompetitif, maka produk akhirnya tidak kompetitif.
Kalau kita bicara industri,
value chain-nya harus kompetitif semuanya. Misalnya dari harga gas, distribusi gas, ke
plant gate. Jadi yang dibicarakan adalah harga gas di pabrik. Bukan harga gas di
dwell.
Saya mendapatkan info SKK Migas, hari ini tentu seluruh kontrak dari kontraktor berbasis harga minyak. Tapi yang diterima oleh
end user, dengan industri, itu basisnya bukan harga minyak, tapi harga gas plus inflasi.
Kan ini ada dua perbedaan secara kontrak hulu dan hilir. Ini kan ada yang hilang di tengah. Nah, yang di tengah ini harus dilacak. Kenapa tidak di
pass through? Kalau di industri, energi itu harus di
pass through.
Belum lagi ada perusahaan perantara yang beli dari sumber?Makanya
chain-nya harus diperhatikan. Makanya tidak efisien kalau di
well head-nya dapat US$5 per MMBTU tapi di plant gate US$4 per MMBTU.
Sudah ada persamaan persepsi pak dengan lintas kementerian?Sudah rapat dengan kementerian, pada prinsipnya mereka sudah mengerti itu. Tinggal secara teknis dioperasikan, bagaimana perusahaan distribusi bisa menjalankan apa yang dikehendaki oleh
end user dan SKK Migas.
Tapi apa tidak khawatir penerimaan negara akan berkurang karena itu kan porsi pemerintah?Kita sudah bicara soal
multiplier effect-nya. Apabila murni
value chain dari gas ke LNG dibanding gas ke industri, nilai tambahnya bisa enam kali lipat.
Jadi memang harus berkorban ya pak?Tidak ada yang berkorban. Ya kita bicara mengenai
employment, dan tujuan dari nawacita kan menciptakan lapangan pekerjaan. Satu, lapangan pekerjaan pasti terabsorbsi. Yang kedua, tentu memperkuat daya saing perekonomian kita. Jadi poin-poin nawacita bisa tercipta dengan
multiplier effect. Dan juga ketahanan ekonomi nasional bisa semakin tinggi.
Konkritnya kapan pak?Ini sedang dibahas. Mungkin dalam.. targetnya sih sekitar satu bulan.
Kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi, kan dilihat dari pertumbuhan otomotif dan semen. Apakah dua ini masih menjadi fokus bapak ke depan?Jadi kalau prioritas industri sekaranga adalah sumber daya manusia. Itu kunci
competitiveness. Di sini kementerian perindustrian terus mendorong ditingkatkannya asupan teknologi, karena teknologi mendorong produktivitas.
Kedua, keterampilan tenaga kerja, karena tenaga kerja terampil juga mendorong produktivitas lagi. Peluang penurunan produktivitas akibt UMR bisa dikompensasi dengan peningkatan produktivitas. Ini kan selalu menjadi isu di bidang industri.
Salah satu yang didorong adalah pendidikan D1 dan D2 maupun SMK secara
vocational. Kita mau balik pendidikan 60 persen pendidikan keterampilan dan 40 persen umum.
Sehingga tenaga kerja yang dihasilkan bisa langsung diserap oleh industri. Kementerian Perindustrian sendiri sudah ada 11 Diklat sebagai percontohan berbasis kompetensi. Di sini, Kementerian Perindustrian melakukan pelatihan dan juga penempatan tenaga kerja. Bukan cuma latih dan kemudian tenaga kerjanya tidak masuk, namun juga bisa masuk ke angkatan kerja.
Kebanyakan diklat ini, perindustrian sudah melaksanakan
teaching fascilities atau
teaching factory. Dan alat-alat yang dipakai ini selevel dengan standar industri. Sehingga
learning curve para tenaga kerja berada di diklat Kementerian Perindustrian.
Kita akan dorong bukan hanya terbatas pada diklat, namun juga dorong ke kalangan industri. Di mana nanti industri kita minta untuk menyerap pelatihan vokasi satu semester tiga bulan, satu tahun enam bulan, dan SMK yang berada di sekitar pabrik.
Sehingga nanti menimbulkan pertumbuhan berbasis kluster dan kompetensi. Kalau di Amerika Serikat ada Detroit, nah di Indonesia ini Jabodetabek jadi mini Detroit-nya Indonesia. Ini bicara soal industri otomotif, nanti akan mempunyai daya saing yang kuat untuk pasar asean.
Jadi pabrik mereka jadikan sebagai sarana magang?Yang besar-besar seperti Astra dan Indorama di Purwakarta semuanya sudah melakukan. Itu kan merupakan kebutuhan, kebutuhan internal dan kebutuhan untuk ekspansi. Perusahaan juga seperti gajah tunggal sudah melakukan.
Ini kita dorong ke industri sejenis, apakah milik swasta atau BUMN. Bagi mereka ini kan sumber yang membantu untuk memotong
learning curve. Ini
win-win solution lah ya bagi masyarakat dan industri.
Kalau melihat kondisi kan masih melambat, harga komoditas rendah. Berdasarkan sektoral mana sih pak yang akan survive dan akan tersendat?Kalau melihat harga komoditas kan menjadi
blessing untuk peningkatan efisiensi. Seluruh manufaktur kan berpikir efisiensi. Dan untuk efisien, maka membutuhkan investasi.
Ini adalah tahap yang tepat dalam melakukan evaluasi. Dan dengan komoditas yang turun ini memacu perekonomian Indonesia untuk
broad base, jadi tidak mengandalkan kepada satu-dua komoditas. Beberapa waktu lalu kita mengandalkan komoditas batu bara dan mineral.
Makanan dan minuman bisa jadi sektor yang kuat, ujungnya lagi kelapa sawit dan turunannya masih menjadi andalan Indonesia. Makanan dan minuman selain untuk ekspor kan untuk domestik.
Sektor otomotif juga masih, karena penggunaan otomotif per seribu atau per kapita adalah 75 per 1.000 sedangkan di Thailand sudah 150 per 1.000. Ruang untuk tumbuh masih ada, meski jenis kendaraannya berbeda. Kalau di Indonesia kan yang penumpang banyak jadi andalan. Kalau di Thailand kan
small car.
Tapi otomotif di Indonesia sudah jadi
one-million club market.
One million club di Asia tidak banyak, hanya China, India, Jepang, dan Korea. Yang lain di luar
one million club. Ini level tersendiri.
Sedangkan motor kita terbesar ketiga setelah China dan India. Dengan 6 juta motor, dengan puncaknya bisa 8 juta motor per tahun.
Sektor lain adalah baja akan kita dorong juga. Ini kan induk industri, kita melihat sektor baja kan harmonisasinya masih diperlukan. Karena kita juga melihat bahwa China sudah overcapacity lewat ACFTA. Kita bikin trade remedies bagi industri baja ini. Karena negara tanpa industri baja, secara strategis tidak punya kekuatan.
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) bagaimana?Ini masih jadi andalan karena melihat sandang pangan dan papan, yang sudah
self-sufficient kan sandang. Sudah capaian yang baik. Yang pangan akan kita dorong lewat industri makanan.
Karena industri makanan jadi alternatif ketersediaan protein. Industri kan menghasilkan produk yang harganya lebih terjangkau dan lebih stabil dibandingkan komoditasnya. Ini yang sedang dalam proses.
Terkait dengan industri otomotif, dengan daya beli masyarakat yang masih rendah meski ada kebijakan uang muka 0 persen. Kementerian Perindustrian bisa bantu apa?Tentu mendorongnya lewat
low cost green car (LCGC). Dalam tanda petik mobil harga terjangkau dan ramah lingkungan itu menjadi pilihan. Pertumbuhan LCGC ini menjadi
buffer sektor otomotif.
Apalagi tahun depan kita juga mendorong otomotif konsentrasi ke pasar ekspor. Harus ada pendalaman struktur daripada pohon industri otomotifnya.
Supplier-nya. Akan kita dorong dan identifikasi mana yang bisa mendorong
economies of scale.
Tetapi kalau mau garap ekspor, kebutuhan di luar kan bukan MPV dan bahkan sudah Euro 5?Menuju Euro 4 itu kan tergantung dengan Kementerian ESDM dan Pertamina. Kami sendiri sudah bicara dengan dua-duanya untuk mendorong
availability dari Euro 4 di 2019 atau 2020. Ini kan membutuhkan perencanaan.
Tapi Pertamina bilang setidaknya tahun 2022 baru bisa?Kalau itu kan pemasangan katalis bisa di
speed up. Dan kedua, sebagian kebutuhan BBM kita impor. Jadi sekarang RON 92 pun tidak diproduksi kilang domestik tapi dari impor. Tinggal buat kontrak dengan
supplier.
Kalau terkait investasi dan efisiensi industri, pemerintah bikin banyak kawasan industri. Masalah utamanya adalah tax allowance sering dimentahkan. Bagaimana merangsang investor masuk ke daerah kalau misalkan pemerintah agak berat untuk memberikan pemanis?Jadi
tax allowance dan
holiday adalah
sweetener.
Tax holiday dan
allowance baru bisa dilakukan setelah pabriknya menikmati keuntungan. Jadi yang paling penting, sektor ini akan menguntungkan.
Sektor yang menguntungkan tentu lihat iklim investasi, pasar domestik, value chain, dan pasar global. Itu yang mendorong investasi masuk baru abis itu
tax holiday sebagai pelengkap terakhir. Kalau tidak untung ya akan
holiday terus kan. Kalau kita lihat Krakatau Steel, itu kan
holiday.
Cukup banyak janji yang diberikan di KEK, kawasan industri, tax holiday dll. Apa sih yang masih kurang?Tentu infrastrukturnya terbatas. Tentu kita baru menunjuk KEK, kawasan industri, itu kan infra apakah pelabuhan, rel, kereta api, dan jalan, ini kunci yang harus diselesaikan.
Kemudian yang kedua, tentu kesiapan KEK masing-masing plus harmonisasi regulasi. seperti misalnya kawasan berikat. Kalau rezim kawasan berikat sebelum Asean
free trade, itu kan orientasi ekspor. Tetapi dengan Asean
free trade, kawasan berikat ingin memanfaatkan pasar dalam negeri.
Kalau regulasi belum diharmonisasi, masuk ke kawasan indonesia harus bayar bea masuk dan PPN. Tapi dalam kaitan dengan Asean
free trade, produk yang sama dengan Malaysia tanpa bea masuk dan PPN.
Sama seperti terjadi di Batam, produksi Batam ke Indonesia harus bayar PPN dan bea masuk. Masalah ini yang harus diharmonisasi, supaya seluruh Indonesia punya daya saing di dalam negeri maupun bersaing di Asean. Itu salah satun hal yang perlu didorong
Ada rencana holding BUMN, seberapa besar holding ini berdampak ke pertumbuhan ekonomi dan industri?Harus dicatat, ini sebagai upaya
economies of scale sebuah korporasi bisa bersaing dengan kapital yang lebih besar. Tapi harus dipilah-pilah dulu, seperti sektor keuangan, ada regulasi yang perlu diharmonisasi. Kalau bank dijadikan satu, ini ada yang namanya batas maksimal pemberian kredit.
Jadi fungsi bank kan intermediasi, jangan sampai jadi
holding, kemampuan intermediasinya semakin berkurang. Kalau misalnya dulu ada lima bank yang bisa membiayai sebuah proyek dalam satu konsorsium, karena sekarang berkonsoldiasi, maka tentu jumlah kredit yang diberikan ada batasnya. Sedangkan di luar bank BUMN ga ada lagi. Semuanya milik privat atau multinasional yang kebijakannya berbeda.
Yang kedua, kita perlu mendorong bank untuk pembangunan. Karena kalau tidak, bank akan pikir secara komersial, dan hanya berpikir
return tinggi, jadi perbankan di-
drive kinerja korporasi. Di republik ini bukan hanya kinerja korporasi yang diberikan, tapi kan fungsi
pioneering harus ada.
Di wilayah Timur kan perlu dana pembangunan dan pionir. Kalau kriteria ini murni karena motif pasar modal, laba, ya tidak akan kebagian ini. Padahal fungsi pemerintah harus hadir, dalam hal ini lewat perbankan.
Untuk mengarahkan ke manufaktur, sinergi apa yang akan dibuat dengan holding bumn?Ini yang sedang dibicarakan. ada juga hukum persaingan, jangan sampai dengan merger, BUMN ini yang sekarang dominan makin dominan. Dengan adanya
holding, ini kan pihak terafiliasi. Kalau tender ini yang menang itu-itu aja kan bisa dipersoalkan oleh KPPU.
Kemudian, fungsi BUMN ini tak boleh hilang yaitu fungsi sebagai agen pembangunan.
Plus jangan di level satu, kepemilikan negara jangan sampai hilang. Di undang-undang BUMN kan disebutkan kepemilikan pemerintah kan di
tier 1. kalau di level dua kan sudah korporat, bebas juga menentukan dilusi dari saham. Jadi ini yang ingin kami jaga, tetap 51 persen tetap terkonoslidasi terhadap induk.
Yang berhubungan dengan industri adalah mergernya PGN dengan anak usaha pertamina, apakah sesimpel itu untuk menekan harga gas?Harga gas berdasarkan UU migas, tergantung pemerintah bukan tergantung korporasi. Jadi yang menetapkan harga energi yang baik untuk perekonomian, maka harga itu yang perlu diacu. Jadi itu tidak berhubungan terhadap aksi korporasi.
Kemarin BKPM ada wacana, untuk sektor yang sudah overload produksinya seperti semen dan juga produk karet itu akan ditutup investasinya, tanggapannya?Kalau semen sudah 90 juta ton per tahun, dan domestik pasarnya 60 juta ton per tahun. Jadi tentu kita dari segi pemerintah, dalam arti membuat
valve, mana yang
over mana yang kurang.
Karena kami tidak ingin semuanya tidak
sustainable. Dengan adanya investasi di Papua sudah ada pabrik semen dengan kapasitas 2 juta ton per tahun.
Coverage pabrik semen untuk pembangunan sudah terpenuhi selama empat hingga lima tahun ke depan.
Selain semen, mana lagi pak yang sekiranya sudah overload?Kalau karet beda lagi, itu harganya sedang jatuh. memang
crumb rubber dilepas dari DNI, asing diberi kesempatan. Persoalannya bukan itu, tapi harga karet. kemenperin sudah membuat
prototype, untuk menggunakan karet sebagai bahan campuran pembuatan jalan, aspal. Sebesar 5 persen.
Kemenperin sudah membuat contoh. Kami sudah bicara dengan Kementerian Pekerjaan Umum agar bisa diadopsi standar ini. Tentu ini masih dalam tahap pembicaraan, tetapi yang jelas kalau dicampur karet,
lifetime aspal ini akan meningkat. Umurnya akan panjang.
Berapa besar pak kandungannya?5 persen di tahun pertama. Kalau kita bisa, maka petani karet semangat kembali menanam karet.
Yang perlu kita cegah dari perkebunan, adalah yang paling mengutungkan selama ini kan hanya satu jenis perkebunan, yaitu kelapa sawit. Sampai seluruh kebun kita yang dibikin adalah sawit.
Makanya kita harus mengangkat komoditi lain agar memberikan return yang tinggi juga. Karet, misalnya bisa jadi andalan. Karena Indoensia kan produsen karet yang besar. Karet alam diperlukan untuk ban dan yang lain.
Nanti akan seperti mandatory ya pak?Arahnya akan seperti
mandatory.
Ada tidak usulan Kemenperin yang akan masuk ke paket kebijakan ekonomi berikutnya?Kalau dari segi perizinan kan sudah diambil alih seluruhnya, jadi dari segi perizinan sudah dilepas. Rekomendasi satu-dua industri masih kita pegang seperti
crumb rubber karena walaupun sudah dilepas dari
negative list, kami tidak ingin terintegrasi kebun dan pabrik.
Kita menginginkan rakyat masih berperan di situ. Kalau rakyat tidak diperbesar perannya, maka rakyat hanya akan jadi buruh saja. Kita masih kunci 20 persen inti 80 persen plasma.
Selain crumb rubber?Yang lain sih sudah, untuk perizinan.
Mandatory 5 persen masuk ke paket kebijakan?Ini masih dibahas.
(gen)