Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengkritik pembatasan lingkup pidana non pajak yang bersumber dari data dan informasi yang dilaporkan wajib pajak peserta tax amnesty.
Kritik CITA ini tertuju pada Pasal 47A Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.010/2016 tentang perubahan PMK-118/PMK.010/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Bunyi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut:
"Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 juga dimiliki dan digunakan oleh otoritas yang berwenang un tuk melakukan penanganan tindak pidana yang bersifat
Transnational Organized Crimes (TOC) meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, dan/ atau perdagangan manusia, otoritas yang berwenang dimaksud tetap dapat melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan terkait."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal tersebut merupakan penjelasan tambahan atas Pasal 47, yang berbunyi:
"Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak."
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menilai rumusan Pasal 47A PMK Nomor 141/PMK.010/2016 berpotensi menyimpang dan dimaknai berbeda dari maksud dan makna UU Nomor 11 Tahun 2016.
Dalam UU Pengampunan Pajak, jelasnya, yang diampuni hanya pidana pajak dan perlindungan data diberikan tanpa mengurangi kewenangan penegak hukum lain dalam melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan pidana selain pajak. Syaratnya, data dan informasi wajib pajak itu tidak bersumber dari data
tax amnesty.
"Rumusan Pasal 47A PMK-141/PMK.010/2016 ini malah mengaburkan pengaturan dan pembatasan di UU dan justru mengatur hanya untuk 3 jenis pidana itu narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia, yang apabila data yang dimiliki otoritas berwenang tetap dapat ditindaklanjuti," jelas Yustinus melalui pesan singkat, Selasa (27/9).
Karenanya, ia meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menghapus Pasal 47A. Hal itu penting agar maksud dan tujuan UU Pengampunan Pajak tidak dimaknai sebagai perlindungan bagi para pelaku kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi.
"Kami juga menghimbau pihak-pihak terkait tidak mengintervensi Menkeu sehingga dapat berkonsentrasi menjalankan tugasnya dengan baik," tuturnya.
(ags)