Pemerintah Mengaku Terlambat Jerat Google dengan Pajak

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 05 Okt 2016 20:52 WIB
Direktorat Jenderal Pajak mengaku, dalam mengejar pajak dari Google, regulasi yang ada masih belum jelas dan spesifik.
Direktorat Jenderal Pajak mengaku, dalam mengejar pajak dari Google, regulasi yang ada masih belum jelas dan spesifik. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengakui bahwa regulasi perpajakan untuk perusahaan penyedia konten atau over the top (OTT) di Indonesia masih lemah. Akibatnya, pelaku OTT seperti Google memiliki peluang untuk menghindari pajak.

“Terus terang saja, dalam hal Google, regulasinya masih abu-abu. Meskipun kita tahu bahwa secara regulasi sudah bisa kami tangkap ini. Tetapi yang kami inginkan adalah regulasi yang spesial mengatur soal [perusahaan OTT] ini,” kata Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, Muhammad Haniv saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di kantornya, Rabu (5/10).

Saat ini, DJP bisa menarik pajak dari pelaku OTT selama pelaku OTT ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), BUT atau Permanent Establishment (PE) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.

Bentuk BUT bisa berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, hingga pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Google Asia Pacific Pte.Ltd, kata Haniv, sempat menolak ditetapkan sebagai BUT dengan dalih segala transaksi dengan pemasang iklan dari Indonesia dilakukan secara online, langsung ke kantornya di Singapura. Padahal, menurut Haniv, Google memiliki aktivitas pendukung usaha di Indonesia misalnya dalam hal pemasaran maupun teknis.

Setelah menunjukkan itikad baik, Google sejak bulan lalu telah bersedia untuk melakukan negosiasi dan diperiksa. Namun, sama seperti praktik otoritas pajak negara lain, proses pemeriksaan ini akan memakan waktu.

Salah satu data yang dibutuhkan otoritas pajak adalah data jumlah klik terhadap iklan yang dipasang di konten Google. Semakin banyak iklan yang diakses oleh pengguna Google, semakin tinggi penerimaan (revenue) yang diterima oleh Google.

Sejauh ini, Haniv menyatakan DJP masih belum bisa menetapkan nilai tunggakan pajak Google. Pemerintah hanya memiliki nilai perkiraan sebesar Rp450 miliar per tahun yang berasal estimasi terukur atas pendapatan Google yang ditaksir lebih dari Rp5 triliun per tahun karena menguasai separuh pangsa iklan berbasis daring di Indonesia.

Pemerintah, lanjut Haniv, saat ini masih menyusun Peraturan Pemerintah terkait perdagangan secara online (e-commerce). Selain itu, tahun depan, pemerintah juga akan merevisi UU PPh. Diharapkan, melalui kedua aturan itu, pemerintah bisa mempertegas posisi Google maupun posisi OTT sejenis dalam hal pemungutan pajak.

Bisa Diganjar Sanksi

Menurut Haniv, Kemenkominfo bisa lebih cepat dibandingkan otoritas pajak dalam menjatuhkan sanksi pada pelaku OTT. Pasalnya, Kemenkominfo memiliki wewenang untuk melakukan pemblokiran atas suatu situs yang ditampilkan di Indonesia.

“Sebenarnya kan Kemenkominfo harus berani. Jadi, kalau misalnya dia [Google] memperoleh penghasilan di Indonesia tetapi tidak membayar pajak sedikitpun, Kemenkominfo harus berani memblokir Google,” ujarnya.

Jika situs diblokir, praktis Google akan kehilangan sumber penerimaannya karena masyarakat tidak bisa mengakses Google.

Hal serupa, kata Haniv, pernah terjadi di China. Namun, alasan pemerintah China bukan karena Google mengemplang pajak tetapi Google dianggap menyebarkan informasi yang dianggap mengganggu masyarakat lokal.

Di sisi lain, otoritas pajak di Indonesia juga akan berbenah. Selama ini, kata Haniv, DJP lamban dalam merespon cepatnya dinamika perencanaan pajak (tax planning) yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengecilkan jumlah pajak yang disetor.

Perencanaan pajak bisa dilakukan secara legal dengan memanfaatkan celah (loophole) atau area abu-abu (grey area) dalam aturan perpajakan.

“Aturan itu kan tidak ada yang sempurna. Di seluruh dunia tidak ada yang sempurna. Selalu ada grey area. Grey area itulah yang dimanfaatkan,” ujarnya.

Kendati demikian, sebagai Otoritas Pajak, DJP seharusnya juga lebih cepat dalam menutup celah dalam aturan yang ada. Dengan demikian, wajib pajak maupun konsultan pajak tidak memiliki peluang untuk memanfaatkan celah tersebut.

“Mereka [wajib pajak] cepat melakukan tax planning, improvement atau akrobat dalam rangka mengecilkan jumlah pajak. Tetapi kami seharusnya juga cepat dalam membuat aturan untuk mengejar itu,” ujarnya. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER