ANALISIS

Kerikil Tajam dalam Tembok Sejuta Rumah Jokowi

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Rabu, 19 Okt 2016 06:36 WIB
Berbagai masalah masih menghambat program sejuta rumah yang dicanangkan Presiden Jokowi, mulai dari kebijakan yang belum berjalan, hingga skema pembiayaan.
Berbagai masalah masih menghambat program sejuta rumah yang dicanangkan Presiden Jokowi, mulai dari kebijakan yang belum berjalan, hingga skema pembiayaan. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Program sejuta rumah murah menjadi senjata pamungkas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memenuhi kebutuhan (backlog) rumah bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, jumlah kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memilikinya mencapai 11,4 juta unit.

Tidak heran jika dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Jokowi menargetkan jumlah backlog berkurang menjadi 6,8 juta unit pada tahun 2019 dan rumah tidak layak huni berkurang menjadi 1,9 juta unit.

Per 13 Oktober 2016, total realisasi pembangunan perumahan baru menyentuh angka 415 ribu unit atau sekitar 41,5 persen dari total target akhir tahun. Di mana 316 ribu rumah dibangun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 99 ribu rumah untuk non MBR.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari rumah yang sudah masuk dalam tahap konstruksi, rumah yang sudah jadi, dan rumah yang sudah siap huni atau terjual.

Realisasi yang masih terbilang kecil tersebut terutama disebabkan oleh proses perizinan pembangunan yang masih memakan waktu lama, sehingga waktu pelaksanaan proyek pembangunan terpaksa mundur dari rencana awal.

Hal ini juga tak lepas dari belum optimalnya paket kebijakan ekonomi ke-XIII yang baru dikeluarkan Agustus lalu.

“Kami berharap paket kebijakan ekonomi ke-XIII ini bisa lebih meningkatkan pemenuhan kebutuhan rumah, menjawab kebutuhan rumah MBR dan non MBR,” ungkap Direktur Jenderal Penyediaan Perumahahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanudin, Minggu (16/10).

“Isi dari paket itu belum sepenuhnya berjalan, kalau sudah jalan semua akan memudahkan, jadi masalah perizinan. Paket kebijakan XIII implementasinya belum maksimal,” keluh Syarif. 

Seperti diketahui, paket kebijakan teranyar yang dirilis Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini berisi tentang kemudahan perizinan pembangunan rumah bagi MBR dengan memangkas perizinan pembangunan rumah menjadi hanya 44 hari dari sebelumnya 769 hari hingga 981 hari. Hal ini karena pemerintah telah memangkas perizinan menjadi hanya 11 izin dari sebelumnya 33 izin.

Dengan diturunkannya paket kebijakan tersebut, maka jelas pengembang akan diuntungkan karena dengan waktu perizinan yang lebih singkat proses pembangunan dapat lebih cepat dilakukan.

“Lancar itu pasti kalau paketnya sudah berjalan optimal,” imbuh Syarif.

Dengan begitu, sejauh ini realisasi pendanaan untuk mencapai target sejuta rumah baru mencapai 48,99 persen, sedangkan untuk fisik baru menyentuh 47,99 persen. Sementara, pagu APBN-P tersebut hanya untuk 10 persen dari total target penyediaan rumah oleh pemerintah, sedangkan sisanya dibiayai oleh fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).

Kementerian PUPR pun tak muluk-muluk dapat menyediakan rumah hingga satu juta rumah pada akhir tahun. Paling tidak, pemerintah dapat menyediakan rumah sekitar 700 ribu unit. Hal ini karena ia melihat kondisi ekonomi yang memang masih melambat, selain karena menunggu optimalnya paket kebijakan ke-XIII.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Maurin Sitoris menyatakan, masalah yang dihadapi pemerintah dalam penyediaan rumah juga salah satunya datang dari suku bunga kredit konstruksi yang terbilang masih tinggi di mata pengembang.

“Sekarang sudah bagus, bunga sudah semakin turun tapi aspirasi pengembang kalau bisa lebih rendah lagi,” jelas Maurin.

Pemangku kepentingan (stake holder) yang berpartisipasi dalam penyediaan perumahan pun bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga ada pengembang, perbankan, dan pemerintah daerah (Pemda).

Maurin berharap, tidak hanya pemerintah pusat yang memberikan beberapa insentif seperti tidak perlu membayar pajak 10 persen dalam pembelian rumah khusus bagi rumah bersubsidi. Namun, Pemda diharapkan mau memangkas izin bagi pembangunan rumah untuk pengembang, seperti apa yang tertuang dalam paket kebijakan ke-XIII.

“Ini harus didukung oleh Pemda. Mereka sudah ada yang bagus tapi masih banyak yang belum. Harusnya Pemda yang lebih concern, karena sebenarnya mereka lebih dekat dengan masyarakat itu sendiri dibandingkan dengan pemerintah pusat,” paparnya.

Harga Tanah

Namun, nyatanya masalah tak berhenti sampai di sana. Masalah lain adalah harga tanah yang terus melonjak setiap tahunnya dan pemerintah tak bisa mengendalikan hal tersebut. Dari situ, muncul usulan agar pemerintah membangun bank tanah (land bank) yang bertugas untuk menjaga melambungnya harga tanah secara tidak normal.

“Hati-hati loh pemerintah dengan program sejuta rumah ini, sudah saya sarankan agar membuat bank tanah bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lain-lain. Nah ini belum ada, hati-hati,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda.

Tak hanya terganjal oleh harga tanah yang semakin mahal, tetapi juga pola pikir (mindset) pemerintah terbilang salah dalam menjalankan program satu juta rumah ini. Di mana seharusnya satu juta rumah ini dibangun sepenuhnya oleh pemerintah, bukan memberikan kepercayaan yang lebih tinggi terhadap pihak swasta.

Pasalnya, realita yang terjadi pemerintah hanya mengucurkan dana 10 persen dari total pembangunan satu juta rumah.

Imbasnya, banyak pengembang yang asal dalam membeli tanah untuk mengejar harga yang murah tetapi tidak mempertimbangkan kecocokan lokasi tersebut untuk MBR. Lokasi yang cocok bagi MBR harus berdekatan dengan stasiun bus atau terminal kereta api untuk memudahkan masyarakat yang tinggal di rumah tersebut dalam beraktivitas mengepulkan asap di dapur rumah yang dibelinya dengan susah payah.

Masyarakat pun banyak yang terjebak dengan tetap membeli rumah asalkan sesuai kantong mereka, tanpa berpikir dengan matang. Namun, tak lama setelah membeli rumah tersebut, mereka kembali memutuskan “ngekost” di dekat kantor. Rumah yang dibelinya pun ditinggalkan kosong.

Pemerintah pun sebenarnya dapat membiayai program satu juta rumah tersebut sepenuhnya dengan beberapa alternatif, tidak hanya APBN. Misalnya saja dapat menggunakan dana pensiun (Dapen) atau dana yayasan yang dikelola oleh instansi negara.

Dana yang hanya mengendap dalam suatu lembaga seperti itu, seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi pembangunan program satu juta rumah. Sayang, payung hukum untuk mengatur hal tersebut belum ada. Hal itu menjadi salah satu dari kerikil-kerikil masalah yang menempel di tembok sejuta rumah Jokowi. (gir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER