Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) meminta pemerintah melarang ekspor kulit mentah guna memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku berkualitas bagi industri kulit nasional.
Ketua Umum APKI Sutanto Haryono menganggap, pengusaha kulit mentah memilih untuk menjual kulit berkualitas ke luar negeri, sedangkan yang kualitasnya rendah dipasok ke industri nasional. Ia menduga, perbedaan satuan penjualan kulit menjadi alasan pengusaha kulit mementingkan ekspor ketimbang memasarkan di dalam negeri.
Menurutnya, selama ini penjualan kulit di Indonesia menggunakan satuan harga per kilogram, sedangkan yang diekspor satuan lembaran. Hal ini dianggap tidak adil dan berpotensi mencurangi industri penyamakan dengan memanipulasi bobot kulit mentah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terkadang, bahan baku yang dijual kepada kami itu sudah dicampur air sehingga menjadi berat. Mungkin karena sistem penjualannya dilakukan dengan satuan kg, jadi mereka memberatkan kulit yang mereka pasok ke kami. Secara tidak langsung, pencampuran itu bikin kualitas kulit menurun, sehingga bahan baku kami pun menjadi buruk," tutur Sutanto di Kementerian Perindustrian, Selasa (1/11).
Di sisi lain, lanjut Sutanto, industri penyamakan memiliki kemampuan terbatas dalam mendapatkan bahan baku impor. Pasalnya, Kementerian Pertanian hanya memperbolehkan impor kulit dari 60 negara, padahal ada 100 negara yang berpotensi mengekspor kulit mentah ke Indonesia.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat harga kulit mentah impor terbilang lebih murah 10 hingga 20 persen dibanding kulit mentah domestik.
"Padahal, kalau bahan baku lebih efisien, maka hasil kulit penyamakan bisa lebih murah. Dengan demikian, kami memasok industri persepatuan pun bisa lebih efisien. Sehingga ada peluang besar untuk meningkatkan nilai ekspor industri persepatuan dari angka saat ini US$4 miliar per tahunnya," tuturnya.
Tetapi, ia menyadari diperlukan banyak regulasi untuk bisa memperluas impor kulit mentah. Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk melarang ekspor kulit mentah dan khusus dialokasikan bagi industri dalam negeri.
Selain itu, ia juga meminta satuan penjualan kulit mentah diganti dari per kilogram menjadi per lembaran, demi meminimalisasi kecurangan volume. "Paling efektif ya peraturannya direvisi. Kalau tidak boleh diekspor kan dengan sendirinya kulit mentah dialokasikan untuk dalam negeri," ujar Sutanto.
Naikkan Bea KeluarSementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengaku telah mendengar keluhan industri penyamakan kulit. Menangapi permintaan pelaku usaha, instansinya akan bertemu dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menaikkan bea keluar ekspor kulit mentah agar pengusahan kulit domestik mau menyalurkan hasilnya ke industri dalam negeri.
Sebagai informasi, saat ini bea keluar ekspor untuk kulit dikenakan sebesar 15 hingga 25 persen, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 140 tahun 2016.
"Kalau bea keluar naik, harusnya harga di domestik lebih menarik. Sehingga pengusaha kulit mau menyalurkan produksinya bagi industri penyamakan. Dengan cara ini kami yakin ekspor kulit mentah bisa berkurang," tutur Airlangga.
Saat ini, kapasitas terpasang industri penyamakan sebesar 5 juta lembar dengan utilisasi mencapai 40 persen. Pertumbuhan industri kulit, barang kulit, barang dari kulit dan alas kaki mengalami pertumbuhan mencapai 7,74 persen per triwulan II 2016.
(ags)