Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya migas, pertambangan, dan sumber daya alam, Publish What You Pay (PWYP) meminta masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, lebih berhati-hati dalam mengelola Dana Bagi Hasil (DBH) migas.
Pasalnya, selama ini, distribusi DBH migas Kabupaten Kutai Kartanegara dinilai belum efektif. Hal itu tercermin dari banyaknya jumlah penerima beras miskin (raskin), padahal DBH migas kabupaten terkait boleh dibilang tinggi.
Menurut Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP, kondisi ini mencerminkan bahwa DBH migas belum bisa dimanfaatkan langsung oleh 717 ribu penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami melihat, kemiskinan tinggi di Kutai Kertanegara. Penerima raskin tertinggi di Kalimantan Timur ada di mereka. Padahal, kabupaten itu adalah penerima DBH migas terbesar di provinsi Kalimantan Timur. Ini situasi yang paradoks," jelas Maryati, Senin (21/11).
Asal tahu saja, sebanyak 5.027 Kepala Keluarga (KK) dianggap sebagai penerima raskin di Kutai Kartanegara pada tahun lalu, di mana angka itu mencapai 26,52 persen penerima raskin Kalimantan Timur. Dengan kata lain, Kutai Kartanegara adalah daerah tingkat II penerima raskin terbanyak di Kalimantan Timur.
Memang, saat ini, kontribusi DBH migas Kutai Kartanegara mulai menurun. Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2016, DBH Migas diprediksi sebesar Rp3,8 triliun atau lebih rendah 20,8 persen dibanding tahun lalu sebesar Rp4,8 triliun.
Melihat kondisi ini, Maryati mengaku khawatir apabila DBH migas Kutai Kartanegara tak kuat lagi menutupi belanja-belanja daerah yang penting, seperti pendidikan maupun kesehatan. Makanya, ia mengusulkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kutai Kartanegara menyisihkan dana cadangan dari DBH migas dalam bentuk petroleum fund.
Ia menilai, petroleum fund dapat menjadi andalan pemasukan pemda jika penerimaan DBH migas tak sekencang periode sebelumnya. Dana ini, lanjutnya, bisa saja ditabung dan diolah sebagai pendapatan pasif, namun juga bisa diputar kembali dengan investasi.
"Kalau disisihkan sekian mliiar dari DBH, nantinya itu bisa dipakai saat harga minyak turun atau saat kontrak perusahaan migas yang ada di situ berakhir. Selain itu, jika terjadi windfall revenue gara-gara harga minyak naik, maka kapasitas belanja daerah juga tidak bisa menampung, sehingga disisihkan saja. Cara ini bisa menyelamatkan fiskal daerah yang sangat tergantung dari DBH migas," terang dia.
Ia melanjutkan, Kutai Kartanegara perlu belajar dari Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dalam pengelolaan DBH migas. Menurutnya, Pemda Bojonegoro mulai memberlakukan petroleum fund sejak tahun 2014 dan menggunakan sebagian uang tersebut untuk mengempit 10 persen saham di Bank Pembangunan Daerah Jatim.
Di sisi lain, DBH itu juga dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan dan memperkuat ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, Kabupaten Bojonegoro mengalami pertumbuhan ekonomi 13,37 persen dan berhasil meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 65,27 persen di tahun 2014 menjadi 66,17 persen di tahun 2015. Padahal, DBH Migas di Bojonegoro sebesar Rp1,4 triliun jauh lebih kecil dibanding Kutai Kertanegara.
Bojonegoro bahkan sempat menjadi kabupaten termiskin di Jawa Timur sebelum tahun 2010. "Nanti penggunaan petroleum fund bisa berkaca ke Bojonegoro. Bagusnya mereka bikin petroleum fund sebelum lapangan Banyu Urip peak production di angka 165 ribu barel per hari hingga 180 ribu barel per hari. Kalau nanti ada windfall profit ketika harga minyak naik, potensi petroleum fund di sana juga pasti kencang," tegas dia.
Sebagai informasi, DBH di dalam APBNP 2016 tercatat sebesar Rp109,1 triliun. Hingga September 2016, realisasi DBH tercatat Rp 65,5 triliun atau 60,1 persen dari target.
(bir)