Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian rencananya akan meminta British Petroleum (BP) Berau Ltd mengalihkan gas Tangguh Train III untuk dua investor Kawasan Industri Teluk Bintuni, yaitu Ferrostaal GmbH dan Sojitz Corporation. Tadinya, gas itu dialokasikan untuk PT Pupuk Indonesia (Persero).
Kepala Sub Bidang Pengembangan Kawasan Industri Direktorat Pengembangan Wilayah Industri I Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin Adie Pandiangan menuturkan, langkah ini diambil karena Pupuk Indonesia masih belum bisa menentukan jenis pabrik yang akan dibangun di Teluk Bintuni.
Gas dari Tangguh Train III akan segera
onstream di tahun 2019. Sehingga harus ada fasilitas yang bisa menampung gas sebesar 90 MMSCFD begitu proyek itu
onstream.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sambil menunggu Pupuk Indonesia, kami minta BP alihkan gas ke Ferrostaal dan Sojitz sampai proyek Pupuk Indonesia benar-benar terealisasi," ujar Adie, Rabu (30/11).
Ia melanjutkan, Ferrostaal dan Sojitz rencananya akan mendapatkan alokasi sebesar 180 MMSCFD, sama seperti penugasan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) kepada BP Berau sebelumnya. Kedua perusahaan ini dipilih karena dianggap paling siap untuk merealisasikan investasinya di Teluk Bintuni.
Rencananya, Ferrostaal dan Sojitz akan membangun industri metanol menjadi olefin berbasis gas bumi dengan investasi mencapai US$1,54 miliar. Kedua proyek tersebut rencananya akan rampung dalam waktu empat tahun.
Namun, karena alokasi gas sejak awal diberikan kepada Pupuk Indonesia, kedua perusahaan asing ini diharuskan bekerja sama dengan perusahaan pupuk pelat merah tersebut, selaku operator kawasan industri Teluk Bintuni.
"Bahkan Ferrostaal bilang, 2017 bisa langsung mulai kalau memang alokasi gasnya jelas," terangnya.
Di samping itu, ia menyebut jika BP dan Pupuk Indonesia sudah menyepakati harga gas di Teluk Bintuni, di mana angkanya akan turun menjadi US$3,5 per MMBTU dari posisi sebelumnya US$8 per MMBTU. Sehingga, seharusnya proyek petrokimia ini bisa berjalan tanpa hambatan.
Namun, menurutnya, investor juga membutuhkan kepastian hukum terkait kepastian turunnya harga gas bagi petrokimia, pupuk, dan baja yang dijanjikan akan turun 1 Januari 2017 mendatang. Ia berharap dari payung hukum turunan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 yang mengatur penurunan harga gas bagi industri.
"Kami sedang mengejar Instruksi Presiden terkait harga gas, agar ini bisa terlaksana," jelas Adie.
Sebelumnya, Pupuk Indonesia mengaku ragu-ragu untuk membangun pabrik pupuk di Teluk Bintuni, karena kondisi urea dunia saat ini yang tengah mengalami kelebihan suplai. Padahal, gas Tangguh Train III akan segera on stream tahun 2019.
"Kondisi pasar urea dunia saat ini sudah oversupply, sehingga harga komoditinya kurang bagus. Selain itu, harga gas juga jadi faktor penyebab masih perlunya kajian ulang. Karena dengan harga gas Bintuni yang US$8 per MMBTU, sangat tidak ekonomis untuk bangun pabrik pupuk," jelas Head of Corporate Communication Pupuk Indonesia Wijaya Laksana kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/11).
Sebagai informasi, alokasi gas Tangguh sebesar 180 MMSCFD bagi pabrik pupuk tercantum di dalam surat Plt. Kepala SKK Migas Nomor SRT-0839/SKKO0000/2014/S2. Surat ini kemudian diimplementasikan ke dalam dokumen persetujuan keputusan investasi final (
Final Investment Decision/FID) Tangguh Train III Juli 2016 lalu.
(bir)